"Saya tidak tega, Bu Nita, takut anaknya menangis. Jika sudah menangis susah brentinya."
"Yang penting diam, Bu Nita, akhirnya saya berikan apa saja yang dia mau."
"Saya mengikuti keinginan anak sampai-sampai, pukul setengah dua dini hari pun saya bisa ajak dia muter-muter keliling kampung pake motor supaya dia diam dan tidak menangis lagi."
Pengalaman-pengalaman nyata di atas saya dapati di lapangan ketika melakukan layanan pendampingan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus).
Curhatan ringan hingga berat bertebaran sepanjang saya mendampingi beberapa orangtua di daerah layanan kala itu.
Saya sadari betul betapa tidak mudah menjadi orangtua. Begitu banyak bekal ilmu 'hayat' yang harus dimiliki secara mumpuni, untuk menjadi orangtua yang baik ( yang sampai saat ini tidak ada sekolahnya juga 🙂)
Satu cerita dari seorang kawan melengkapi pemahaman bahwa ketegasan versus tidak tega seringkali menjadi sebuah polemik besar dalam pola asuh pendidikan anak di rumah.
Melihat perilaku anak di depan mata yang membuat kita tidak tega akhirnya membawa pada sebuah keputusan yang kurang tepat dalam mekanisme penanganan perilaku anak.
Ada beberapa kasus anak yang sedang saya tangani bisa diselesaikan dikarenakan masalah-masalah pola pengasuhan yang kemudian dapat dientaskan.
Pola asuh permisif menjadi sebuah candu yang akhirnya menjadi badai perusak bangunan kepribadian anak (walau pola asuh yang sebaliknya, otoriter pun, tak dapat juga dibenarkan)