"Hai, Mit.." Tangan kekar lelaki itu diulurkan meminta disambut. Keduanya berjalan beriringan, masih saling takjub.
Sekilas, wajah lembut itu menghiasi lamunan Paramita Andini, wajah itu seperti mengejar dan menyesaki tiap slot memorinya. Wajah lembut seorang ayah yang telah meninggalkan Paramita untuk selama-lamanya.
"Woyy, ngelamun aja..!" Lamunan Paramita buyar setelah Vino Pradipta, sahabatnya mengacak-acak kasar rambutnya. "Aduuuuhh! Mita, gila lo, ya...!" Balasan setimpal diterima Vino, tas laptop milik Paramita yang tidak berisi melayang dan sukses mendarat di dahinya.
Suasana dingin serta hening di kedai sederhana sebelah rumah sakit daerah itu tiba-tiba menghangat setelah keduanya melanjutkan obrolan di sela-sela waktu makan siang mereka. Vino dan Paramita telah bersahabat sejak mereka disatukan dalam pertemuan nasional komunitas pecinta alam. Mereka memutuskan bersama-sama masuk di fakultas kedokteran di kota yang berbeda. Mereka kembali dipertemukan saat menjalani masa internship 3 bulan lalu.
"Vin, aku besok mau pulang ke Prawirotaman. Turangga, 16.30 dari Pasar Turi."
"Mau gue anter?" Vino menawarkan bantuan untuk mengantar Paramita esok sore ke stasiun Pasar Turi.
"Gak usah, Vin, kayak bayi aja..."
"Fine, ati-ati, Mit. Salam untuk Ibu."
Keduanya kemudian melangkah ke arah yang berbeda, Paramita masuk ke bangunan cozy yang tak begitu besar dengan pemandangan bunga-bunga kertas yang beraneka warna di bagian depannya, sementara Vino jalan memutar karena kost-nya berada di deretan belakang komplek perumahan tersebut.
Di atas Turangga, 16.00 WIB
Atomic Habits-nya James Clear telah siap di depan pangkuan Paramita. Bola mata hitamnya menyapu ke segala area di gerbong 2 kereta yang akan mengantarnya berjumpa dengan wanita yang sangat dikasihinya, Ibu Sasanti. Aroma "Mie Lethek" yang sudah dirindukannya telah berhasil membuatnya ingin sesegera mungkin menjejakkan kaki di kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar itu, kota yang memberi sejuta kenangan indah.
Keluarga, persahabatan, hingga pengalaman, lekat sekali dengan kota penuh pesona itu. Sejuta tawa hadir di antara sejumlah momen yang juga membuatnya meneteskan air mata. Suka-duka hadir mewarnau hidup Paramita di kota ini, termasuk saat lelaki hebat yang paling berarti dalam hidupnya, meninggalkan Paramita Andini, kakak, serta Ibu Sasanti untuk selama-lamanya.
Dua buah roti bun beraroma cappuccino dan air mineral telah menjadi teman perjalanan yang setia sang dokter internship sejak dari Surabaya. Kerinduan pada kampung halamannya itu sangat berhasil membawanya pulang. Di sudut gerbong 2 itu ada sepasang mata yang sejak tadi memerhatikan gerak-gerik Paramita, sepasang mata teduh yang selalu mendoakannya, walau dari jauh, jauh sekali.
Kurang dari pukul setengah 10 malam waktu Yogyakarta, kuda besi berlabel Turangga itu berhenti di Stasiun Tugu. Paramita bergegas mencari bu Eka, tukang ojek yang telah dipesannya sejak dari Surabaya beberapa waktu lalu. Mata dan tangannya asyik fokus dengan gawai untuk menghubungi bu Eka, nemun belum berhasil menghubungi, tiba-tiba, tepukan lembut mengagetkannya. "Butuh ojek, Mbak?" Sapaan lembut dengan khas suara baritone itu tiba-tiba berhasil mengalihkan konsentrasinya Paramita Andini. "Woooyyyy, Brooo!" pekik kaget itu hampir membuat orang-orang yang lalu-lalang menolehkan kepalanya ke arah dokter muda imut itu.