Apakah mungkin mendisiplin anak atau siswa tanpa bentakan dan kekerasan?
Sebuah diskusi akhirnya menyeruak dari sebuah obrolan kecil saya dengan salah satu orangtua siswa yang saya dampingi.
Beberapa waktu sebelumnya, anak dari orangtua tersebut mengalami kemunduran dalam pencapaian akademis.
Perilaku dan emosi juga demikian. Sering uring-uringan dan menangis, bahkan beberapa kebiasaan baik yang biasa dilakukan oleh anak menjadi hilang.
Orangtua yang notabene terlihat kalem dan lemah lembut tak ayal, akhirnya menegur dengan keras, membentak, juga ditambah bonus mencubitnya karena si anak tidak mau lagi belajar dan berubah menjadi pembangkang.
Ada beberapa kasus lain yang pernah saya dengar. Seorang anak berusia kurang lebih 4-5 tahun langsung tantrum saat tidak dibelikan mainan sesuai keinginannya saat melintasi toko mainan di sebuah mal. Anak mengamuk, dan menggelosor di lantai mal demi sebuah mainan yang diminta kepada orangtuanya.
Kisah lain, dialami oleh saya pribadi. Saya pernah marah sekali karena siswa yang tidak bisa disiplin dengan membentak dan berteriak sangat keras. Serta-merta tubuh saya sangat tidak nyaman, detak jantung menjadi sangat cepat, rasanya lelah sekali setelah hal itu terjadi, tubuh menjadi gemetar dan cukup lama untuk meredakannya. Kepala terasa sangat pusing setelah hal itu terjadi.
Saya yakin, hal ini juga pasti pernah dialami oleh kita, baik sebagai orangtua atau guru dalam lingkungan pendidikan, atau bahkan di luar lingkungan pendidikan seperti seperti dalam komunitas pekerjaan kita, dalam keluarga, atau dalam komunitas masyarakat di lingkungan kita.
Seorang praktisi pendidikan Inggris bernama Charlotte Mason mengembangkan prinsip-prinsip mendidik tanpa bentakan dan kekerasan.
Charlotte Mason hidup di era Victoria. Charlotte mengembangkan sebuah dasar pendidikan yang tidak hanya bertumpu pada pengolahan jasmani atau fisik semata. Beliau menekankan peran jiwa anak dalam pendidikan secara integral.