Lihat ke Halaman Asli

Yunita Kristanti Nur Indarsih

TERVERIFIKASI

Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

Kisah Bersama Sepeda Kumbang

Diperbarui: 27 April 2020   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Diolah Incollage | Sumber : Freepik.com/ Stephanie 2212

Saat itu momen menyenangkan bersama saudara dan kerabat di kampung halaman Ibu saya. Berkunjung ke tempat Eyang merupakan hal yang wadaw wadidaw buat saya dan keluarga. 

Bisa bersilaturahmi, bisa makan masakan Eyang yang super duper ueenak, bisa bermain di alam yang menyegarkan, secara, banyak tanaman dan area persawahan mengelilingi rumah Eyang kami. 

Kala itu momen liburan yang sekaligus bertepatan dengan bulan ramadan. Sungguh menyenangkan, berharap sekali, ramadan kali pun ini bisa menyenangkan juga, walaupun dengan kondisi saat ini. Tetap sehat, dan bisa saling terhubung, dan berkomunikasi dengan hangat, dan terutama kita semua bisa cepat lulus pandemi ini, hal itu merupakan harapan terbesar saya di momen ramadan 2020 kali ini. 

Saya memang tidak merayakan Idul Fitri, tetapi budaya itu juga menjadi sebuah tradisi yang merekatkan tali persaudaraan dan silaturahmi di antara keluarga kami. Ada beberapa keluarga kami yang juga merayakan Lebaran. Keluarga kakak dan adik Ibu saya, biasanya berkumpul untuk melepas rindu satu sama lain di rumah Eyang.

Suasana yang menyenangkan, karena bisa melepas rindu satu sama lain menjadi penanda tiap kali tradisi mudik ke rumah Eyang. Dari berbagai daerah di Indonesia, keluarga Ibu saya seolah, secara otomatis, tanpa adanya komando, pulang kampung untuk melakukan prosesi tabur kembang di makam Eyang Kakung kami. Saat itu Eyang Putri kami masih sehat. 

Baiklah, yuuk, maree, terus menyimak kelanjutan kisah ini. Saat itu saya masih SMA. Seperti biasa, karena menunggu berbuka puasa (kami tidak berpuasa tapi ikutan juga terbawa suasana). Hari itu, kami, saya dan kakak sepupu, anak dari Budhe saya, berencana untuk ke salon, yang berada di dekat alun-alun kota.

Saya dan kakak sepupu, mengendarai sepeda kumbang atau lebih akrab dipanggil dengan sepeda kebo, jika di daerah Eyang saya. Sepeda itu cukup tinggi dan berbodi besar. Kami janjian, saat pergi dari rumah Eyang, kakak sepupu lah yang akan mengendarai di depan, dan saya membonceng di belakang, entar saat pulang dari salon, saya lah yang akan mengendarainya di depan, gantian.

Proses potong rambut di salon berjalan dengan cukup lancar, tetapi emang saya agak kurang nyaman hari itu, mungkin terbiasa berambut panjang, dan saat dipotong pendek, saya belum cepat beradaptasi, lagian biasanya, beda kapster, beda gaya potong rambutnya. Eniwei, ini pertama kali saya potong di kota Eyang.

Akhirnya saya dan kakak sepupu saya selesai potong rambut dan pulang ke rumah Eyang. Sesuai dengan perjanjian, saya yang akan mengendarai sepeda di depan dan kakak sepupu saya, memboncengnya di belakang. Saat saya bersiap diri untuk mengendarai pelahan, dan mulai mengayuh sepeda itu, saya mulai selingi dengan ngobrol santuy. Saya bertanya pada kakak sepupu saya tersebut.

Kira-kira begini, nih, "Mbak Ayu, koq kayanya aneh, deh, potongan rambutnya. Gimana, Mbak, menurutmu?" seraya tangan kiri saya mengusap rambut yang baru saja dipotong oleh sang kapster salon sambil terus mengayuh sepeda. Saya tunggu jawaban, "Mbak..gimana?", tak ada balasan, sampai saya mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dengan suara yang lebih lantang, karena bersaing dengan suara kendaraan yang berseliweran. 

Tak juga ada jawaban. Saya pun sebenarnya agak heran, di sepanjang jalan, saat saya menaiki sepeda kumbang itu, beberapa pengguna jalan, melihat saya dengan tatapan aneh bin ajaib. Saya memang berceloteh terus sepanjang jalan, mengeluhkan ketidakpedean gaya potongan rambut saya saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline