Kurang lebih dua minggu yang lalu, seorang sahabat menawarkan jamu empon - empon hasil industri rumahan kolaborasi sang bunda dan dirinya melalui WAG komunitas kami. Kebetulan sekali, saya dan keluarga juga butuh banget jamu empon - empon ini. Spesifikasi bahan, racikan dan higienitas cara buatnya pun dijelaskan secara detail saat pertama kali mengantar pesanan ke rumah kami. Hari itu 7 botol pertama pesanan keluarga kami diantar langsung oleh chef-nya, yaitu, sang sahabat.
Hari itu saya dibuat terkaget - kaget, karena curcolan sang chef mengenai awal mula bisnis rumahan ini. Tidak ada background kuliner atau pun kesehatan sama sekali, itu yang membuat saya heran, mengapa akhirnya dia bisa banting setir ke bisnis ini.
Kecurigaan saya terjawab sudah, ketika dia mulai membeberkan alasan demi alasan di balik ini semua. Sekali lagi, tidak lain dan tidak bukan, tentu saja karena pandemi Covid- 19, bisnis jamu ini bisa dimulai. Sang bunda sudah lama menekuni industri rumahan di Salatiga, produk rempeyek andalannya sudah dijual sampai kota Semarang dengan omzet yang cukup banyak. Sahabat kami menuturkan, sang Bunda lah justru yang mendorongnya untuk memulai bisnis kecil-kecilan ini.
Singkat kata, sahabat kami ini terpaksa pulang ke Salatiga dari Jakarta karena terlebih dahulu diawali menderita sakit thypus yang mengharuskan dia pulang kampung untuk berobat, hingga akhirnya wabah corona melanda Jakarta, sehingga perusahaan tempatnya bekerja memberi informasi via telepon untuk tetap tinggal dulu di Salatiga sampai keadaan benar-benar kondusif.
Kisah masih berlanjut, di awal sempat mengalami stress, karena salary yang didapat pasti akan cepat menguap tergerus kebutuhan yang tidak sedikit dalam menanggung biaya hidup anak dan istrinya. Berjualan baju bekas dengan konsep garage sale sempat dilakoninya, tiap 2 potong baju bekas miliknya dijual dengan harga Rp. 15.000, semua ludes terjual dan hari itu dia mendapatkan lebih dari Rp. 200.000. "Cukuplah untuk membeli beras penyambung hidup", katanya. Saya hanya bisa menghela nafas panjang mendengar kisah sahabat saya itu.
Cerita masih belum berhenti sampai disitu saja, akhirnya sang Bunda mengetahui kondisi sahabat saya dan menganjurkan untuk memulai bisnis jamu empon-empon ini. Bak gayung bersambut, ide bisnis ini memang cukup menarik, mengingat tingginya kebutuhan juga permintaan akan jamu saat corona merebak. Mulai dari pemilihan bahan yang berkualitas, tempat pembelian bahan jamu, pemilihan bentuk dan rupa botol, desain sticker sebagai merk jamu, pengolahan yang memiliki standar higienitas yang cukup baik sampai membidik target pasar direncanakan secara detail oleh mereka berdua. Kebetulan sahabat kami cukup banyak memiliki komunitas di Salatiga. Berbekal sistem kekerabatan tersebut maka marketing jamu ini dijalankan setahap demi setahap. Baik penawaran yang dilakukan secara online atau pun sebaliknya, melalui power dari mulut ke mulut dilakukan. Mulai dari 10 botol per hari sampai lebih dari 100 botol per hari berhasil laku di pasaran.
Dia pernah menuturkan juga bahwa pernah kebingungan mencari botol, karena stock botol di rumahnya sudah habis, dan ketika membeli botol di toko di daerah dia tinggal, toko di daerah nya itu pun menyatakan bahwa botol juga sudah habis dan masih menunggu pesanan dari Semarang. Berbekal info dari pelanggan rempeyek sang Bunda akhirnya sahabat saya tersebut bisa mendapatkan botol dari seorang distributor botol besar di Semarang sehingga produksi jamu buatannya bisa kembali menggeliat.
Saya punya trik khusus untuk membantu memasarkan jamu buatan sahabat saya tersebut. 3 hari setelah saya memesan untuk pertama kalinya, saya kembali memesan 12 botol dan memberikan kepada tetangga kompleks di sekitar perumahan, dan beberapa saudara serta kolega kenalan saya secara gratis, hingga akhirnya berbuntut repeat order. Yes!!
Jumlah produksi jamu empon - empon sahabat saya tersebut semakin meningkat tajam. Strategi marketing dengan mem - viralkan testimoni enak dan berkhasiatnya jamu itu pun ampuh dalam membantu bisnis ini. Dibandrol dengan harga fantastis Rp. 5000 di kota Salatiga, bisnis jamu sang sahabat laris bak kacang goreng.
Bukan hanya dapat membayar semua kebutuhan rumah tangganya serta biaya hidup istri dan anaknya, tetapi akhirnya bisnis jamu ini bisa menambah rumpun produk baru di usaha rumahan yang dikelola oleh sang Bunda.
Ketika niat yang baik disandingkan dengan usaha yang kuat dan pantang menyerah, niscaya akan menghasilkan buah manis yang bisa dikecap hasilnya dengan nikmat. Bisnis ini akhirnya bisa menjadi inspirasi awal sahabat saya untuk mencegah kesulitan finansial yang dihadapinya saat pandemi ini.