Lihat ke Halaman Asli

Guru-Guru yang Berjiwa Keterpaksaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya pernah melamar menjadi guru di sebuah sekolah swasta terkenal di kota saya yang telah berdiri sekitar 12 tahun. Proses perekrutannya tidak mudah. Saya harus bersaing dengan ratusan pelamar pada saat itu. Tes pun terdiri dari empat tahap yang memgharuskan saya bolak-balik ke sekolah tersebut. Melihat proses perekrutan dan materi tes, saya mendapat gambaran bahwa guru-guru yang berkerja di sekolah tersebut tentulah orang-orang pilihan dengan kualitas yang baik. Akhirnya saya diterima menjadi staf tenaga kependidikan di sekolah tersebut. Hanya kurang dari lima orang yang diterima pada saat itu.

Setelah saya masuk ke sekolah tersebut, saya menjadi heran karena hampir 98% guru yang bekerja di situ bukan dari jurusan kependidikan atau bergelar S.Pd. Kebanyakan dari jurusan MIPA, Teknik, Sastra, Hukum, Sosial, dan Psikologi. Padahal waktu perekrutan saya sangat yakin banyak rekan-rekan dari jurusan kependidikan yang mendaftar.

Saya menjadi bertanya-tanya, mengapa Jurusan Kependidikan tidak laku di sekolah swasta yang bonafid seperti ini?

Perenungan dan pengamatan selama bertahun-tahun di dunia pendidikan membuat saya memperoleh suatu gambaran yang memprihatinkan tentang kondisi guru di Indonesia.

Guru dulunya adalah profesi yang tidak diminati, pilihan akhir bila seorang calon mahasiswa tidak diterima di jurusan lain yang lebih bergengsi dan memiliki “prospek” lebih baik untuk masa depan yang cerah. Maka dapat dipastikan bahwa mereka akan kalah pada saat tes intelegensi perekrutan guru baru di sekolah swasta tersebut. Harus diakui memang begitu. Saya mengamati bahwa banyak teman-teman dari jurusan kependidikan memiliki tingkat intelegensi lebih rendah walaupun mereka dibekali teori dan teknik mengajar yang cukup kuat.

Pihak sekolah rupanya tidak begitu mempertimbangkan apakah calon guru dari jurusan kependidikan atau bukan. Mereka lebih mempertimbakan hasil tes intelegensi dan karakter dari calon gurunya. Menurut mereka teori dan teknik mengajar bisa dipelajari dengan cepat, apalagi oleh orang yang memiliki tingkat intelegensi tinggi.

Lalu mengapa juga ada orang-orang yang melamar menjadi guru bila mereka dari dulunya tidak kuliah di jurusan kependidikan? Kemungkinan besar karena tidak ada lapangan pekerjaan lain dengan gaji dan fasilitas yang lebih memadai.

Beberapa waktu yang lalu Menteri Pendidikan kita melemparkan suatu pernyataan bahwa Indonesia kelebihan kuota guru. Hal ini terjadi saat pemerintah gencar memberikan berbagai tunjangan bagi guru yang membuat gaji guru semakin menggiurkan dibandingkan tahun-tahun lalu. Para sarjana dari non kependidikan pun berbondong-bondong mencari Akta 4, agar diakui pemerintah profesi keguruannya dan dana tunjangan pun mengalir semakin banyak.

Jadi, bagaimana gambaran umum guru-guru di Indonesia. Sepertinya kebanyakan hanya berisi pribadi-pribadi yang memiliki jiwa terpaksa mengajar untuk mencari penghidupan. Sedikit ditemui guru-guru yang benar-benar mencintai anak dan memiliki passion untuk mengajar.

Tulisan ini tidak bermaksud merendahkan rekan-rekan dari jurusan kependidikan atau rekan-rekan guru. Saya adalah salah satu jurusan kependidikan. Tanpa bermaksud mengagungkan idealisme pribadi saya, tapi saya sudah terpanggil untuk mengajar anak-anak sejak SMA. Beberapa rekan SMA saya yang bertemu setelah beberapa tahun agak heran karena saya “cuma” jadi guru dengan kapabilitas yang saya miliki.

Mungkin ada di antara pembaca yang berprofesi guru menjadi geram atas tulisan ini. Saya hanya mengingatkan untuk tidak sekedar bermain-main, atau sekedar menjalankan tugas demi mendapat gaji beserta tunjangan-tunjangannya saat Anda menjalani profesi keguruan Anda. Bp. Stephen Tong mengatakan bahwa “Guru adalah arsitek jiwa anak”. Betapa pentingnya peran guru untuk membentuk jiwa, karakter, dan intelektualitas anak. Mari menjalaninya dengan hati. Bukan hanya dengan mulut, tangan, dan kaki.

Salam guru Indonesia!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline