Lihat ke Halaman Asli

Niswana Wafi

Storyteller

Indonesia Darurat Judi Online, Butuh Solusi Hakiki

Diperbarui: 15 Juli 2024   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Belum usai perang melawan narkoba, korupsi, dan pinjaman online (pinjol), kini kerusakan terjadi karena judi online (judol). 

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa nilai transaksi kejahatan judol di Indonesia mencapai lebih dari Rp600 triliun (CNN Indonesia, 14-6-2024).

Di Indonesia, pelaku judol tersebar di seluruh negeri. Perilaku haram tersebut melibatkan orang-orang dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan bawah, ASN, pegawai BUMN, wartawan, aparat, hingga ratusan pejabat di lingkaran kekuasaan pun ikut terjerat. Ini mencakup laki-laki dan perempuan, orang tua, dewasa, remaja, dan anak-anak.

Menurut Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, ada 80 ribu pemain judol di Indonesia yang terdeteksi berusia di bawah 10 tahun. "Usia di bawah 10 tahun itu ada 2% dari pemain, totalnya 80 ribu yang terdeteksi," kata Hadi di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta (Rabu, 19 Juni 2024).

Judol telah nyata menyebabkan kesengsaraan dan kerusakan, termasuk kerugian finansial, gangguan psikologis, kecanduan, kriminalitas, dan bahkan kematian. "Dengan berjudi online, Anda mendukung praktik pencucian uang hasil korupsi," kata Menkominfo Budi Arie Setiadi dalam unggahan Instagram (CNBC Indonesia, 26 Juni 2024).

Faktor utama judol dipicu oleh kondisi ekonomi yakni perekonomian sulit karena sulit mendapatkan pekerjaan atau penghasilan, sedikitnya penghasilan sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan harian, serta tuntutan dari keluarga dalam hal ekonomi. Pada akhirnya, pelaku judol mencari cara pintas untuk menghasilkan banyak uang dengan cara cepat dan mudah. Hal ini sangat relevan dengan keadaan ekonomi global saat ini, terutama pasca pandemi COVID-19.

Tak heran jika perekonomian kian lesu dan jumlah masyarakat miskin kian bertambah. Akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis, terjadi ketimpangan ekonomi yang menyebabkan kekayaan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Prinsip kebebasan kepemilikan yang dimiliki sistem ekonomi kapitalis menyebabkan dunia makin timpang dari sisi ekonomi.

Ada orang-orang yang memiliki kekayaan melampaui pendapatan domestik bruto (PDB) sebuah negara dengan populasi puluhan juta orang. Sebagai contoh, kekayaan Jeff Bezos mencapai US$125,3 miliar, melampaui PDB Maroko sebesar US$119,04 miliar, padahal populasinya mencapai 36,61 juta orang. Di saat yang sama, jutaan warga lainnya sedang terjerat kemiskinan yang begitu kronis.

Sistem kapitalis telah membuat masyarakat menjadi sangat rapuh karena gaya hidup materialistis yang ditopang oleh standar kebahagiaan yang bersifat materi dan sikap individualis. Banyak orang menjadi pelaku judol di tengah kekurangan akses ekonomi karena menginginkan metode instan dan cepat tanpa berpikir panjang.

Meskipun kerusakan yang disebabkan oleh kejahatan judol sudah sangat membahayakan, solusi yang diambil pemerintah tidak pernah menyentuh akar persoalan. Seolah-olah pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk melawan judol. Salah satu contohnya adalah pernyataan yang dibuat oleh Budi Arie bahwa pemerintah menganggap para pemain judol sebagai "korban", sehingga tindakan yang diambil bukan penangkapan, tetapi pemulihan. Pelaku judol tidak akan dihukum jika dianggap sebagai korban. Ini jelas tidak akan membuat pelaku menjadi jera. Justru sebaliknya, kejahatan judol akan dianggap umum dan makin merajalela.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline