Setelah Bupati Manggarai, NTT, Herybertus G.L. Nabit memecat 249 nakes yang tidak terdaftar sebagai ASN, nasib para nakes kembali menjadi perhatian publik. Pemecatan ini dilakukan setelah ratusan nakes yang tidak berafiliasi dengan ASN melakukan demonstrasi untuk menuntut kontrak kerja yang diperpanjang dan kenaikan upah. Herybertus melihat tindakan ini sebagai contoh kurangnya disiplin dan ketidaksetiaan bawahan terhadap atasan mereka.
Keputusan tersebut dikritik oleh banyak pihak, termasuk Jaringan Tenaga Kesehatan Indonesia (Jarnakes). Ini karena demonstrasi adalah salah satu bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum. Selain itu, pemecatan menyebabkan jumlah pekerja nakes berkurang secara signifikan sehingga berdampak pada kualitas layanan kesehatan di daerah tersebut.
Menurut Matias Masir, ketua DPRD Kabupaten Manggarai, ratusan nakes yang datang bukan untuk berdemonstrasi. Sebaliknya, mereka ingin berbicara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD. Mereka hanya meminta kenaikan gaji lebih besar dari Rp600 ribu karena sangat jauh dari UMR NTT (sekitar Rp2 juta lebih). Hal itu tidaklah berlebihan.
Masir juga memperoleh informasi bahwa para nakes yang dipecat pada 1 April 2024 tidak menerima gaji sejak Januari 2024. Beberapa dari mereka bahkan bekerja secara sukarela selama dua tahun, yang berarti mereka tidak menerima gaji. Masuk tahun 2012, mereka tidak menerima gaji. Pada tahun 2014, mereka digaji Rp400 ribu per bulan, lalu naik menjadi Rp600 ribu per bulan. Namun, mereka belum diangkat menjadi ASN hingga saat ini (Viva News, 14-4-2024).
Sebenarnya, ada lebih banyak lagi nasib para nakes yang memprihatinkan. Tidak hanya terjadi di Manggarai NTT, tetapi juga di berbagi daerah lain. Menurut Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), fenomena upah rendah pada nakes dan tenaga kerja medis masih menjadi PR nasional. Fakta menunjukkan, satu dari tiga pegawai Puskesmas menerima gaji di bawah UMR.
Padahal, para nakes, terutama perawatnya, memiliki tanggung jawab utama dalam menyelamatkan pasien. Merekalah, para garda terdepan yang justru memiliki jasa paling besar. Dalam kasus COVID-19, misalnya, mereka bekerja siang dan malam dengan tingkat risiko yang sangat tinggi. Sampai saat ini, mereka masih harus bekerja menghadapi berbagai penyakit menular yang mungkin muncul. Beban dan risiko yang terkait dengan pekerjaan mereka sebenarnya tidaklah sebanding dengan gaji yang diterima.
Salah satu alasan utama mengapa gaji nakes jauh di bawah UMR adalah karena pemerintah setempat sering kali kekurangan dana untuk menggaji honorer. Padahal jika dicermati, kecilnya gaji nakes akan mengurangi efektivitas dan inisiatif kerja sehingga nakes akan mencari kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarganya. Dengan demikian, kualitas pelayanan pasti akan menurun.
Tidak hanya nakes yang mengalami masalah upah rendah. Masalah ini juga terjadi di berbagai bidang lain, seperti guru honorer, buruh pabrik, buruh tani, dan sebagainya. Mereka bekerja seperti kuda, tetapi gaji mereka tidak sebanding dengan tenaga yang mereka keluarkan. Oleh karena itu, agar kesejahteraan masyarakat dapat dicapai, masalah upah harus segera diatasi.
Sebenarnya, masalah klasik pemerintah tentang kekurangan dana untuk menggaji para nakes adalah konsekuensi dari penerapan sistem kehidupan kapitalisme. Dikatakan demikian karena sistem ini membuat negara miskin sehingga tidak bisa membayar karyawannya. Bagaimana bisa dianggap miskin? Dengan sistem ini, siapa pun dapat mengelola SDA. Swasta, terutama asing, akan mendapatkan keuntungan besar karena mereka diizinkan untuk mengeruk SDA negeri ini.
Misalnya, logam mangan melimpah di NTT. Banyak juga tembaga, nikel, emas, batu bara, dll. Tetapi sayangnya, semua SDA ini dikelola oleh asing sehingga rakyat tidak merasakan manfaatnya. Rakyat hanya terkena limbah dari penambangan tersebut. Bukan hanya gaji nakes yang akan tuntas, kemiskinan di NTT pun akan hilang jika seluruh kekayaan ini dikelola secara mandiri oleh pemerintah (negara).