Lihat ke Halaman Asli

Niswana Wafi

Storyteller

Angka Pengangguran Tinggi, Bagaimana Solusinya?

Diperbarui: 15 Mei 2023   20:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pexels.com

Di Indonesia, pengangguran menjadi masalah besar yang hingga kini belum terselesaikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 7,99 juta orang Indonesia masih menganggur atau setara dengan 5,45% pada Februari 2023 (CNN Indonesia, 5-5-2023). Padahal, pembangunan infrastruktur dalam menunjang industrialisasi sudah sangat masif dilakukan. Namun, mengapa pengangguran masih saja tinggi? Apa sebenarnya yang menjadi akar dari masalah ini?

Era industrialisasi yang harusnya mampu menyerap tenaga kerja dengan baik, ternyata hanya paradoks belaka. Sejak dahulu, industri tidak bisa menjadi sektor utama untuk menyerap tenaga kerja. Justru penyerapan tenaga kerja di sektor informal kini meningkat hingga 60%. Tak heran jika banyak pengamat ekonomi yang mengungkapkan bahwa gejala deindustrialisasi telah tampak di negeri ini. Terlepas dari adanya deindustrialisasi ataupun tidak, banyaknya pengangguran menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal dalam menciptakan lapangan kerja untuk rakyat. Kondisi ini sekaligus mengonfirmasi gagalnya pemerintah beserta sistem yang menaunginya dalam menyejahterakan rakyat.

Jika dilakukan analisis mendalam, akar masalah dari tingginya angka pengangguran di negeri ini tidak lain karena penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem tersebut, pemerintah mengandalkan swasta sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Jika kita lihat berbagai industri manufaktur yang diandalkan sebagai penyerap lapangan pekerjaan, hampir seluruhnya milik swasta. Ketika swasta yang memegang kendali, maka bukan kesejahteraan pekerja yang menjadi fokus, melainkan profit/laba perusahaan.

Total revenue yang dihasilkan perusahaan memiliki korelasi positif dengan penekanan upah pekerja. Menekan upah atau bahkan PHK akan terus dilakukan agar profit perusahaan makin melimpah. Belum lagi impor TKA yang tidak bisa dihentikan oleh pemerintah akibat terjegal kebijakan. Hal ini membuat lapangan kerja untuk rakyat pun makin terimpit. Oleh karenanya, selama industri dikendalikan oleh swasta, lapangan pekerjaan tidak akan memihak kepada rakyat.

Selain swasta, faktanya industri juga dikendalikan oleh oligarki. Walhasil, pembangunan industri bukan lagi berdasarkan keperluan rakyat, melainkan kepentingan oligarki. Misalnya, pembangunan infrastruktur transportasi yang "gila-gilaan" pada era ini. Para pengamat mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa lepas dari kepentingan oligarki. Sebut saja proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang sampai saat ini terus berpolemik. Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM), Dr. Erwin Permana, menyebutnya sebagai satu dari banyaknya proyek yang dibuat untuk oligarki. Sekontroversi apa pun proyek-proyek tersebut, pada akhirnya akan tetap jalan. 

Alasannya yaitu proyek ini merupakan business-to-business dan tidak akan menyentuh APBN. Namun, setelah proyek berjalan dan pembiayaan membengkak akibat satu dan lain hal, termasuk korupsi, pembiayaan pun mencaplok APBN. Padahal, kondisi APBN sudah sangat defisit, justru harus ditambah dengan membayar bunga utang pada Cina. Tenaga kerja proyek ini pun banyak dari TKA. Alih-alih menyelesaikan pengangguran dengan menyerap tenaga kerja, pemerintah justru mengizinkan TKA masuk. Bukankah ini namanya dari dan untuk oligarki?

Tingginya angka pengangguran sejatinya juga menunjukkan adanya kesalahan rancangan pendidikan berkenaan dengan program pembangunan. Pendidikan by demand atau disesuaikan dengan permintaan industri menghasilkan lulusan pragmatis, lulusan yang mentok untuk memenuhi kebutuhan industri. Mereka tidak akan mampu mandiri, menciptakan usaha sendiri, atau berinovasi. Akhirnya, dengan keterbatasan jumlah industri, lulusannya banyak yang tidak terserap. Rancangan pendidikan yang demikian seperti sedang memenjarakan anak bangsa untuk tetap menjadi buruh murah tanpa visi tinggi, tidak untuk menciptakan industri baru yang inovatif. Bukankah hal ini serupa dengan alat penjajah untuk makin menancapkan hegemoni ekonominya di negeri ini?

Oleh karena itu, solusinya bukan pada link and match dunia pendidikan dan industri, melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Jumlah pengangguran akan turun dengan sendirinya apabila fokus pendidikan adalah untuk mencetak SDM berkualitas, yaitu mereka yang mampu berkontribusi untuk kemaslahatan umat. Mereka akan memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya dan akan menaikkan daya tawarnya sebagai pekerja. Terlebih, dengan kemampuannya itu, mereka akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Persoalan-persoalan tersebut jika disimpulkan, sejatinya berpangkal pada industri yang bercorak kapitalisme. Pembangunan industri hanya fokus pada kepentingan korporasi dan oligarki. Hal ini berbeda secara diametral dengan pembangunan industri yang bercorak Islam. Sepanjang sejarahnya, Industri yang bersistemkan Islam mampu menghilangkan pengangguran dan menyejahterakan rakyatnya. Hal ini terjadi karena beberapa alasan.

Alasan pertama, sistem Islam secara tegas menjadikan negara sebagai penanggung jawab dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Sebagaimana hadist Rasulullah saw., "Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya." (HR Bukhari, 844)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline