Lihat ke Halaman Asli

Nisvi Sabbriani

Tetap Berjuang dengan cinta dan kasih sayang

Tantangan Perempuan dalam Ruang Publik

Diperbarui: 25 Mei 2022   23:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembicara : Dr. Hj. Nihayatul Wafiroh, M.A.

Acara : Diskusi SERI II Pusat Study Gender dan Anak (PSGA) UIN MATARAM.

Waktu : 19/05/2022 (08.00 – 10.45 WIB)

Tentang : Tantangan Perempuan di Ruang Publik.

Oleh : Nisvi Sabbriani

Penggarapan permasalahan yang berawal dari UU TPKS, mengenai pengalaman, harapan dan tantangan bagi perempuan pejuang keadilan untuk menanggapi isu-isu gender Kontekstual saat ini menjadi tujuan baru setelah UU tersebut disahkan. Berbagai harapan baru dari manusia-manusia pejuang keadilan dan hak asasi manusia seharusnya tidak meragukan lagi mengenai distribusi dan sosialisasi urgensi Gender yang sering kita baca beruoa teks dan kita lihat atau amati melalui konteks (real life).

Fenomena yang diangkat dalam bangku parlemen, mengusik beberapa pihak mulai dari sesama pejabat dan atau masyarakat desa. Perlu kita telusuri kembali bahwa suara perempuan di berbagai lini merupakan sikap yang akan kita tindaklanjuti dalam lingkup masyarakat yang lebih luas. Dr. Hj. Nihayatul Wafiroh, M.A. selaku Wakil Ketua IX DPR RI mengkasifikasikan 4 (empat) tantangan Internal dan 5 (lima) tantangan Eksternal Perempuan ketika berada di ruang publik. Semua hal tersebut menjadi kritik besar para pejabat tinggi di negeri ini untuk memperhatikan sistem pemerintahan dan aturannya ketika berkaitan dengan peran perempuan dalam bangku parlemen. Tantangan- tantangan tersebut dikemas dengan pemahaman perempuan yang tidak hanya bergerak di bangku parlemen.

  

4 (empat) tantangan Internal dalam diri perempuan yang menjadikan dirinya terbatas di ruang publik :

  • Cenderung kurang percaya diri
  • Kurang percaya diri bukan berarti malu. Kurang percaya diri yang dimaksud oleh Dr. Nihayatul ialah tidak percayanya perempuan dengan perspektif dan suaranya sendiri dalam menyampaikan ide serta pemikirannya kepada orang lain.
  • Belum secara proaktif dan optimal turut mengubah stigma dan citra negatif
  • Keberanian haruslah dimiliki oleh setiap manusia untuk berani baik dan benar. Namun, tidak semua perempuan yang belum maupun sudah masuk ke dalam instansi atau ruang kerjanya memiliki kemampuan dan keberanian untuk mengubah stigma negarif pada diri seseorang maupun kelompok yang sudah dikonsumsi secara bertahun-tahun.
  • Keberpihakan terhadap urusan perempuan (berperspektif gender) rendah
  • Kurangnya kepemilikan dan pengakuan diri sebagai perempuan sangatlah berpengaruh dalam mindset seseorang dalam menentukan suatu kebijakan. Padahal, fungsi utama dari disediakannya 30% bangku parlemen yang ada hingga hari ini, merupakan langkah yang konkrit untuk melibatkan perempuan dan pemikirannya serta posisinya sebagai perempuan dalam memnyikapi kebijakan yang akan dibuat agar tidak bias gender sejak dalam Pemerintahan (struktural).
  • Jiwa kepemimpinan yang visioner, inovatif, kreatif, dan tangguh tergolong lemah.
  • Berpikir jangka pendek merupakan salah satu kriteria berlabel merah untuk seorang pemimpin atau koordinator dari suatu umat. Karena, yang pasti dan nyata ialah setiap manusia termasuk perempuan maupun laki-laki ialah pemimpin bagi dirinya sendiri. Jadi, ketika seseorang tidak mempunyai jiwa tinggi terhadap pandangan masa depan, inovatif dan kreatif, maka dapat dipastikan ia selangkah lebih dekat dengan gagalnya memimpin diri sendiri.

Dr. Nihayatul juga sempat beropini, bahwa “ketika saya dulu berani untuk mengajukan diri sebagai calon anggota Dewan, sangat banyak statement yang berasal dari teman laki-laki saya, bahwa mereka tidak ingin mempunyai istri seperti saya. Lalu saya pun menjawab, Saya Juga tidak ingin memiliki suami yang seperti anda.” Dapat disimpulkan dalam perdebatan beliau, bahwa terkadang beraninya perempuan untuk tampil dan berperan di ruang publik itu merupkan sebuah ancaman bagi laki-laki. Sedangkan dalam atmosfer yang terjadi pada hari ini, kebenaran, keadilan dan kemaslahatan itu bukan berasal hanya dari laki-laki daja atau perempuan saja. Maka ketika hal itu benar, darimanapun sumbernya maka sampaikan kepada masyarakat luas tanpa memandang gender dan kasta.

Peran perempuan selalu dipertanyakan dalam ruang publik, namun aksi perempuan selalu dicekik dengan stigma yang tidak baik. Lalu bagaimana bisa peran perempuan yang sering diepertanyakan akan dapat terpublikasikan? Ternyata keterbatasan perempuan lebih banyak dari faktor Eksternal dirinya.  Berikut 5 tantangan Eksternal perempuan di ruang publik :

  • Sistem sosial, isu gender dan ketidakadilan.
  • Minim dukungan gerakan perempuan yang solid.
  • Peran perempuan dalam jabatan strategis masih kurang.
  • Sistem kepartaian (kaderisasi, pragmatisme politik, kultur politik patriarki).
  • Perubahan zaman yang cepat dan sangat dinamis.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline