"Babel" sang Adikarya
Ketika lembar pertama buku ini dibuka, saya langsung dibawa masuk ke dunia yang tidak biasa. Oleh R.F Kuang sang penulis, saya diajak pergi ke Universitas Oxford pada abad ke-19. Kemudian bersama dengan Robin Swift si protagonis, kami menjajaki kaki ke dalam ruang-ruang kelas. Mendaras berbagai bahasa dunia, juga memahami proses penciptaan perak ajaib. Di dalam menara raksasa Babel, di tengah kampus tertua, dan di antara Britania Raya yang amat jaya, saya menyaksikan hal-hal yang sangat gila. Saya melihat bagaimana bahasa dapat menjadi amunisi negara, kemudian dipakai untuk tindak keji kolonialisme semata.
"Language is a resource just like gold and silver. People have fought and died over those Grammaticas" - Babel
"Bagaimana Jika Buku ini Diterjemahkan?"
Di tengah petualangan membaca Babel, kalimat itu terlintas dengan sebuah tanda tanya raksasa. Tidak akan ada yang mampu. Begitulah asumsi saya seorang. Bukan, Babel terjemah adalah mustahil bukan karena padatnya buku ini dengan istilah-istilah ganjil. Hal ini nyaris mustahil karena Babel adalah Babel itu sendiri.
Babel lebih dari sebuah fantasi gelap semata. Buku ini adalah hasil telaah panjang sang penulis. Pencarian ragam bahasa dari Latin hingga Mandarin, dari Yunani Kuno sampai ke Arab, serta sejumlah bahasa lainnya di dunia. Babel membawa kerumitan berbahasa yang dibungkus dalam tragisnya kisah Dark Academia. Di dalam Babel, konsep linguistik dikupas. Di dalam Babel, antarbahasa diperbincangkan. Di dalam Babel, tindak terjemah adalah kejahatan.
"Betrayal. Translation means doing violence upon the original, means warping and distorting it for foreign..." - Babel
Begitulah papar Kuang, tidak ada bahasa yang mampu mewakili bahasa lainnya. Tidak ada makna yang identik untuk mewakili suatu kata. Bahasa tidak akan pernah bisa menjadi satu. Ia selalu membawa warnanya yang majemuk. Bahasa berarti tersimpannya sejarah yang kaya dan panjang. Ia menyimpan kisah pengelanaan dan sebaris rahasia yang mungkin kelam. Satu kata dalam sebuah bahasa, terikat erat dengan sebuah tanah muasal, kultur, para manusia, juga sekali lagi, sejarah.
Lantas, apakah buku ini pantas diterjemahkan, sedangkan penciptanya menulis, Terjemah = Khianat?
Pahatan Kata
Seperti karya fiksi lainnya, Babel terletak persis di antara dua belantara, antara yang nyata dan maya. Penjajahan, diskriminasi, rasisme, serta eksploitasi mahasiswa adalah hal mayor yang diangkat oleh Kuang di sini. Semuanya adalah nyata yang juga terjadi di dunia ini. Sedangkan perak ajaib, sihir, karakter serta plot di dalamnya adalah sebuah maya. Fenomena-fenomena itu dibawa Kuang ke atas lembaran kertas yang tipis, kemudian dibalut dan disajikan hangat melalui sebuah fiksi. Namun sayang sungguh sayang, jika buku ini hanya tersaji dalam satu bahasa saja. Artinya adalah, kisah yang diceritakan Kuang hanya akan sampai kepada mereka yang mampu berbahasa Inggris. Padahal aslinya, buku ini mengangkat kekerasan terhadap korban-korban penjajahan Inggris itu sendiri. Oleh karena itu, satu hal yang dibutuhkan adalah seorang alih bahasa.
Jika di dalam Babel alih bahasa adalah pemasok pengetahuan terpenting, maka sungguh di dalam dunia nyata pun persis sama begitu. Babel, buku fenomenal yang mengangkat isu bahasa dan penerjemahan membutuhkan seorang alih bahasa yang sangat cakap. Karena bagaimanapun juga, proses terjemah adalah hal yang rumit. Seperti yang dipaparkan oleh I.A Richard di dalam artikel karya Eugene Nida tentang terjemah dan linguistik,
"The most complex event yet produced in the evolution of the cosmos"