Menjalankan peran sebagai perawat di hadapan masyarakat dengan beragam kacamatanya, ternyata bukanlah hal yang sederhana. Terdapat hambatan yang dialami oleh perawat laki-laki, dan hal ini merupakan imbas dari adanya pandangan tradisional masyarakat terkait peran gender. Peran gender mencerminkan norma-norma yang telah berkembang di masyarakat dalam waktu yang lama dan sering kali mengakar dalam tradisi budaya. Pandangan ini melahirkan anggapan bahwa ada pekerjaan tertentu yang dianggap lebih sesuai untuk perempuan, contohnya profesi perawat. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, terdapat 563.739 perawat di Indonesia, dimana jumlah perawat laki-laki mencapai 141 ribu orang, atau sekitar sepertiga dari jumlah perawat perempuan. Dikutip dari Open Data Jabar (2021), data jumlah tenaga keperawatan di rumah sakit Kota Depok pun menunjukkan ketimpangan antara jumlah perawat laki-laki dengan perawat perempuan.
Ketidakseimbangan jumlah perawat perempuan dan laki-laki ini secara langsung mencerminkan peran gender yang telah terikat erat dengan pandangan masyarakat terhadap jenis pekerjaan tertentu. Masyarakat mengasosiasikan perawat sebagai pekerjaan yang lebih cocok untuk perempuan dibanding laki-laki. Persepsi ini muncul karena adanya anggapan bahwa peran perawatan yang penuh kelembutan erat kaitannya dengan perempuan, sementara peran yang lebih teknis atau kuat dianggap lebih sesuai untuk laki-laki. Hal ini kemungkinan yang membuat minimnya minat laki-laki untuk menjadi seorang perawat. Anggapan tersebut juga didukung oleh Prayoga (2009), yang mewawancarai salah seorang perawat di rumah sakit. Berikut adalah kutipan pernyataannya :
Di Indonesia khususnya Jawa, posisi perempuan lebih dipandang bisa dan mampu untuk mengemban status perawat. Ini bisa dilihat dalam ruangan ini (bagian keperawatan) kebanyakan mereka perempuan. (Endang Wuryaningsih, AMK, S.Pd. K)
Stereotip ini sebenarnya juga diperkuat oleh faktor sejarah yang turut membentuk wajah profesi ini. Jika kita lihat sejarah perkembangan keperawatan, peran perempuan telah mendominasi sejak awal kemunculannya hingga saat ini. Jika bisa mengambil contoh, tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang keperawatan umumnya adalah perempuan. Misalnya, di dunia barat, Genevieve Bouzuet memainkan peran penting sebagai perintis dalam dunia keperawatan modern. Seiring dengan itu, Florence Nightingale, seorang perawat asal Inggris, juga terkenal karena memimpin perubahan menuju keperawatan modern dan memiliki berbagai kontribusi pemikirannya dalam bidang tersebut. Serta di dunia Islam juga dikenal seorang wanita di zaman Nabi Muhammad SAW yakni Rufaidhah binti Sa'ad yang mengembangkan keperawatan di dunia Islam. Stereotip, sebagai pandangan umum terhadap kelompok atau pekerjaan tertentu, muncul akibat pengaruh konstruksi sosial (Prayoga, 2009). Dalam kasus ini, perkembangan sejarah keperawatan membentuk pandangan bahwa pekerjaan ini lebih sesuai untuk perempuan daripada laki-laki. Stereotip ini kemudian membuat dominasi perempuan dalam profesi keperawatan.
Stereotip yang telah bertahan selama berabad-abad itu menjadi beban tersendiri bagi perawat laki-laki. Perawat laki-laki harus menghadapi stigma atau pandangan buruk berdasarkan stereotip gender yang sudah kental di masyarakat. Beban yang didapatkan perawat laki-laki dari adanya stereotip ini dapat mencakup tekanan untuk mengatasi prasangka gender, ekspektasi masyarakat, atau bahkan kesulitan dalam hubungan dengan pasien atau rekan kerja yang mungkin mempertanyakan keputusan mereka untuk menjadi perawat. Masyarakat yang masih memiliki pandangan tradisional dengan mengasumsikan bahwa perawat harusnya perempuan, menyebabkan ketidakpercayaan dan keraguan terhadap kompetensi perawat laki-laki. Oleh karena itu, untuk menghentikan keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perawat khususnya perawat laki-laki, mereka harus berupaya meningkatkan sisi profesionalitasnya dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pandangan buruk yang tumbuh di masyarakat itu nyatanya tidak benar.
Peran profesionalisme keperawatan memainkan peran kunci dalam memecah stereotip atau pandangan buruk terhadap gender perawat. Menunjukkan sikap profesionalisme merupakan tanggung jawab bagi perawat sebagai profesional yang nantinya akan berdampak pada kepuasan pasien. Salah satu nilai penting bagi perawat profesional adalah altruisme. Altruisme merupakan sikap peduli terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan individu lainnya (Berman et al., 2021). Perawat, baik itu laki-laki ataupun perempuan tentunya harus dapat menerapkan sikap altruisme untuk menghilangkan stigma buruk terhadap gender perawat dengan melibatkan diri dalam tindakan-tindakan yang menunjukkan kepedulian terhadap pasien. Perawat harus memberikan perawatan yang berkualitas tanpa memandang jenis kelamin pasien. Sebagai educator, perawat dapat memberikan edukasi kepada masyarakat tentang perawat yang melibatkan laki-laki maupun perempuan. Pendidikan masyarakat dapat membantu meruntuhkan stereotip dan mengubah pandangan tradisional terkait jenis kelamin dalam profesi keperawatan. Dalam hal ini, maka perawat juga telah berperan sebagai agent of change.
Selain itu, perawat juga harus menunjukkan integritas dan etika kerja yang tinggi dalam berinteraksi dengan pasien. Integritas dapat diidentifikasi dalam praktik profesional ketika perawat menunjukkan kejujuran dan memberi perawatan sesuai dengan kerangka etika yang diakui dalam profesinya (Berman et al., 2021). Dengan menunjukkan integritas tersebut diharapkan dapat membantu mengubah persepsi bahwa perawat hanya sebatas profesi untuk perempuan. Nilai profesionalisme lainnya adalah autonomy. Dalam hal ini, hak pasien untuk membuat keputusan tentang perawatan kesehatannya merupakan hal yang dihormati perawat (Berman et al., 2021). Ketika perawat laki-laki mendukung dan menghormati otonomi pasien tanpa memandang jenis kelamin, hal ini dapat meruntuhkan stereotip jika perawat laki-laki kurang mementingkan hak-hak pasien. Dalam kenyataannya, perawat laki-laki juga selalu menghargai keputusan pasien yang memilih untuk dirawat perawat perempuan, terutama pada pasien berjenis kelamin perempuan dan belum lansia (Rusnawati, 2012). Perilaku perawat laki-laki yang menjaga privasi, mendengarkan keinginan pasien, dan menghormati batasan-batasan pribadi menjadi bukti bahwa tidak benar jika perawat laki-laki tidak sensitif terhadap isu-isu privasi pasien.
Human Dignity merupakan nilai profesionalisme keperawatan yang menunjukkan bahwa seorang perawat harus menghargai dan menghormati semua nilai dan keunikan pada diri pasien dan rekan kerja (Berman et al., 2021). Nilai ini mendorong perawat untuk menghormati martabat setiap individu. Ketika perawat laki-laki secara konsisten memperlakukan pasien dengan penuh hormat dan penuh kepedulian, maka hal ini dapat menghilangkan stereotip gender yang mungkin beranggapan bahwa perawat laki-laki kurang empati atau kurang peka terhadap kebutuhan pasien. Adapun nilai profesionalisme lainnya yakni social justice. Nilai ini diartikan sebagai perlakuan perawat yang harus adil tanpa memandang status usia, ekonomi, etnis, ras, kewarganegaraan, disabilitas, atau orientasi seksual (Berman et al., 2021). Dengan perawat menunjukkan perilaku ini kepada pasien, bisa menjadi contoh yang baik kepada pasien bahwa diskriminasi seharusnya tidak boleh ada di dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan terus melakukan pendekatan penuh profesionalitas kepada pasien, diharapkan dapat memutus stereotip negatif yang tumbuh di masyarakat terhadap gender perawat. Cukup menyesakkan rasanya bagi para perawat dalam menghadapi tantangan ini. Menempuh pendidikan keperawatan, mendapat gelar Ners dan selalu berusaha berkontribusi dalam hal keperawatan, rasanya masih belum cukup untuk memupuk kepercayaan dan penghargaan dari masyarakat sepenuhnya.
Diperlukan usaha lebih bagi perawat untuk dapat mengambil hati masyarakat, agar mereka tidak lagi memandang perawat dengan segala stigma negatifnya, terutama dalam hal jenis kelamin. Karena sejatinya baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesetaraan dalam bidang keperawatan. Tanggung jawab yang diemban pun serupa baik untuk perawat laki-laki ataupun perempuan. Tidak terdapat perbedaan dalam pendidikan yang telah mereka tempuh, sehingga tidak ada justifikasi yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam konteks ini. Oleh karena itu, adanya upaya mendorong profesionalisme yang kuat dalam diri setiap perawat diharapkan dapat mengatasi stereotip dan membawa nama perawat menjadi lebih baik di mata masyarakat.
Referensi :
- Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2021). Kozier & Erb's Fundamentals of Nursing : Concepts, Process, and Practice (11th ed.). Pearson.
- Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. (2021). Jumlah Tenaga Keperawatan di Rumah Sakit Berdasarkan Jenis Kelamin di Jawa Barat. Opendata.jabarprov.go.id. https://opendata.jabarprov.go.id/id/dataset/jumlah-tenaga-keperawatan-di-rumah-sakit-berdasarkan-jenis-kelamin-di-jawa-barat
- Prayoga, G. (2009). Kesetaraan Gender Perawat Laki Laki dan Perawat Perempuan dalam Pelayanan Kesehatan [Skripsi].
- Rusnawati, N. R. (2012). Relasi Gender Dalam Tugas Tugas Keperawatan di Rumah Sakit Puri Husada Sleman Yogyakarta [Skripsi].