---Polemik Sila Kedua di Era Post-Truth dan Kebebasan Informasi---
Sila Kedua dari Pancasila, yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab", menjadi salah satu landasan penting dalam menjaga etika sosial di Indonesia. Ia mencerminkan semangat keadilan, perikemanusiaan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya serta moral bangsa. Namun, di era post-truth, di mana fakta seringkali tersisih oleh emosi dan kepercayaan pribadi, sila ini menghadapi tantangan baru. Ditambah lagi, kebebasan informasi yang semakin luas dipercepat oleh teknologi digital menghasilkan lanskap yang memungkinkan penyebaran informasi yang tidak selalu sesuai dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Era Post-Truth: Tantangan Terhadap Sila Kedua
Era post-truth ditandai oleh penyebaran luas informasi yang tidak selalu berbasis fakta, namun lebih pada apa yang dapat memengaruhi emosi publik. Dalam konteks ini, kebohongan, misinformasi, dan hoaks seringkali lebih menarik perhatian dibandingkan fakta yang sebenarnya. Sila Kedua, yang mengedepankan keadilan dan peradaban, kini harus dihadapkan pada fenomena ini, di mana pengabaian terhadap kebenaran justru menimbulkan ketidakadilan sosial.
Sebagai contoh, kasus penyebaran kebencian berbasis agama, ras, dan etnis sering kali didorong oleh narasi-narasi yang tidak berbasis kebenaran, namun dimainkan dengan tujuan memecah belah masyarakat. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat Sila Kedua yang mengedepankan rasa kemanusiaan tanpa memandang perbedaan. Di era post-truth, ketika kebenaran menjadi relatif, menghormati kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin sulit diterapkan.
Kebebasan Informasi: Pedang Bermata Dua