apakah yang lebih merah dari darah?
tak ada, katamu kala itu
tapi aku menyanggahnya kala itu juga
aku bilang bahwa ada yang lebih merah dari darah, itulah sejarah
ketika Adolf Eichmann menggiring para Jewish ke Auschwitz atas perintah Hittler sang Fuehrer
ketika bedil tentara menyebabkan merah di Lapangan Tiananmen
ketika mortir tak bermata menerjang anak-anak dan wanita di tanah yang dijanjikan
ketika nuklir meluluhlantakkan Hiroshima Nagasaki dalam radiasi
matahari tak pernah salah menyinari
begitu pula dengan rembulan
mereka lebih tahu mana yang lebih merah atau bahkan lebih hitam dari
segala yang melekat dalam jalinan hari
tuhan, masihkah perlu merah itu menjadi lebih merah?
ataukah merah itu harus dibasuh air suci para nabi?
agar tak ada lagi setan yang haus darah
agar tak ada lagi benci yang berkarat di hati
tuhan, benarkah manusia sudah tak layak lagi mencari
cahaya lembut nan hakiki yang melayang setiap hari tanpa bisa digemggam jari
aku sadar terlalu banyak yang kau berikan untuk kami
sedangkan kami masih saja tak beranjak dari tepi, hanya melihat tepi dan juga berkutat di tepi
manusia memang hanyalah pengunyah tepian, yang sedihnya, itu menjadi sejarah
manusia dan sejarah, sejarah dan perjalanannya, dan akhirnya sejarah dan tuhan
tuhan, aku tak mau kau menjadi sesuatu yang tak lagi berarti
namun jaman ini menunjukkan bahwa kau lebih dari tak berarti dari sekedar roti
aku ingin menangis, tuhan
ternyata seperti di Rio sana, membunuh manusia masih sama dengan membunuh ayam
di sini, cangkul berubah fungsi menjadi bahan otopsi
tuhan, sepertinya aku butuh nabi, walau itu tak mungkin lagi
karena sang kekasih sudah menunaikan tugasnya
aku sendiri, tuhan
aku ingin menjadi manusia yang benar-benar manusia
walau mungkin tak sempurna, namun aku akan berusaha
Juni ke-12
Na
Selamat menikmati hidangan buka puasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H