Lihat ke Halaman Asli

Penghormatan Terakhir

Diperbarui: 26 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Matanya merah membara, suaranya menggelegar, tak heran bila semua orang takut padanya. Namun tidak denganku, aku sudah muak dengan semuanya. Ibu sudah mati, tak ada lagi yang menghalangiku untuk melawannya.

Balok kayu di tangannya mengayun dengan mantap, dan tak ragu pula aku menangkapnya. Ternyata kebencian yang besar dapat mendatangkan kekuatan yang tak terkira sebelumnya. Aku yang hanya seorang anak remaja tanggung dengan tubuh kurus melawan dedengkot preman dengan tubuh tinggi kekar.

Kudorong tubuhnya dengan bantuan balok kayu yang masih dalam genggamannya. Wajahnya terkesiap, tidak menyangka remaja seperti aku dapat melawan kekuatannya. Dengan sekali hentak, kurebut balok kayu itu kemudian kubuang jauh-jauh.

“Terimalah ini sebagai tanda hormatku padamu, ayah!”

Kuda-kuda kumantapkan, dan kepalan tanganku langsung mengarah ke ulu hatinya.

Lelaki itu terjerembab tak bangun lagi. Aku melangkah pelan keluar area terminal, dengan meninggalkan pandangan ngeri di wajah para preman.

 

***

 

Senja kelabu. Sejauh mata memandang, semuanya hanya abu.

Pada onggokan tanah merah yang masih basah itu aku bersimpuh. Diam. Khusu'. Sebuah kediaman dan kekhusu'an yang amat panjang dan dalam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline