Pekalongan, 23 september 2023 -- Dalam rangka kegiatan oemberdayaan Masyarakat, UIN Gusdur Pekalongan menerjunkan langsung mahasiswanya untuk melakukan sosialisasi di Desa Linggoasri, Kajen, Pekalongan, tentang meoderasi beragama.
Toleransi merupakan perilaku saling menghargai antar setiap umat beragama. Toleransi adalah sikap terbuka danpenghargaan terhadap perbedaan, baik itu perbedaan pandangan, kepercayaan, budaya, atau latar belakang. Begitu juga yang dilakukan oleh warga di Desa Linggoasri, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Di Desa Linggoasri terdapat 4 Agama yaitu Islam, Hindu, Budha, dan Kristen. Desa Linggoasri terdapat adanya toleransi dalam setiap acara keagamaan. Misalnya, ketika acara umat Hindu merayakan pengarakan ogoh-ogoh, masyarakat muslim dan agama lain yang ada di sana membantu mempersiapkan keperluan acara tersebut serta turut menjaga keamanan saat acara berlangsung.
Selain itu, saat adanya hari raya umat muslim, maka masyarakat agama Hindu turut menghargai dengan cara ikut memeriahkan hari raya tersebut. Hal ini membuktikkan bahwa interaksi yang terjadi di Desa tersebut sangat menjaga serta menciptakan rasa toleransi yang sangat tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat linggoasri saling menghargai dan menghormati. Seperti dalam perayaan hari besar nyepi, tidak hanya umat hindu masyarakat sekitar pun ikut menyiapkan perayaan hari besar nyepi.
Desa Linggoasri juga memiliki sejarahnya tersendiri. Linggoasri terbentuk dari cerita sejarah yang terjadi pada tahun 60-an masehi dimana pada saat itu ada seorang ulama dari Kota Pekalongan yang bernama Suteja. Beliau mengungkapkan bahwa didesa Linggoasri terdapat harta yang paling tak ternilai dan merupakan warisan nenek moyang desa tersebut yakni berupa sebuah pemujaan kuno yang disebut lingga. Keberadaannya identik dengan pemujaan terhadap Dewa Siwa yang merupakan aspek Hyang Widhi sebagai pelebur segala bencana dialam semesta.
Menurut pendapat lain, awal mulanya batu lingga ini disebut batu wurungan karena dianggap sebagai batu biasa. Pada mulanya batu lingga ini hanya dijadikan tempat persembunyian sampai pada akhirnya dijadikan tempat pemujaan oleh masyarakat yang beragama Hindu. Kemudian mereka membangun rumah untuk melindungi batu tersebut dari hujan dan panas. Masyarakat melakukan ritual semacam kejawen untuk memuja batu lingga ini.
Pada tahun 1966 mayoritas penduduk desa Linggoasri adalah beragama Hindu mereka hidup rukun dan damai, dengan profesi mereka yakni sebagai petani kebun. pasalnya Pura disana juga sudah dibangun sekitar tahun 1960-an juga dan tercatat sebagai Pura tertua yang ada di Kabupaten Pekalongan. Seiring berjalannya waktu pemeluk agama Hindu kian hari kian berkurang sehingga pada tahun 2017 tercatat penduduk Desa Linggoasri yang memeluk agama Hindu persentasenya hanya sekitar 25%, pada saat inilah umat muslim menjadi mayoritas pada penduduk desa ini. para penduduk yang tinggal bersama dalam perbedaan menjadikan mereka indah dalam sebuah keberagaman.
Bagi para penduduk di Desa ini, bukan perbedaan yang ada namun keberagaman yang menjadikan desa ini indah dan harmonis, setiap elemen masyarakat dapat menerima satu sama lain dan bergotong royong untuk kepentingan bersama. Keberagaman yang terdapat pada Desa Linggoasri terkhusus pada Dukuh Linggo ini tidak menjadikan sifat gotong royong sulit timbul, melainkan masyarakat nyaman untuk melakukan kegiatan kebersamaan. Melihat kegiatan gotong royong yang dilakukan sesama umat/ras mungkin sudah banyak ditemui di lingkungan sekitar kita.
Namun, beda halnya ketika kita melihat masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda namun mampu melakukan pekerjaan bersama-sama yang hal itu digunakan untuk keperluan ibadah umat tersebut.Tercatat pada tahun tersebut masyarakat sudah sering merayakan hari-hari besarnya salah satunya yakni perayaan ogoh-ogoh, mengingat penduduk yang mayoritas beragama Hindhu,bukan berarti tidak terdapat agama lain selain Hindu, adapun agama lain yang juga sudah ada disana,yakni islam dan Kristen.
Tidak hanya ogoh-ogoh Kejadian harmonis dan moderat seperti ini juga ditemui ketika acara akhirusannah yang diadakan oleh Madrasah Miftahul Ulum yang terletak pada Dukuh Linggo, walaupun acara ini diadakan di sekitar rumah penduduk yang mayoritas beragama Islam, namun bagi penduduk yang non-Islam tak enggan untuk membantu membersihkan jalanan yang akan digunakan untuk acara tersebut. Alunan musik rancak yang di hasilkan oleh anak-anak dari agama Hindu di padukan dengan alat musik yang identik dengan agama islam merupakan sebuah harmonisasi dalam sebuah pertunjukan yang damai dan indah.
Kejadian harmonis dan moderat seperti ini juga ditemui ketika acara akhirusannah yang diadakan oleh Madrasah Miftahul Ulum yang terletak pada Dukuh Linggo, walaupun acara ini diadakan di sekitar rumah penduduk yang mayoritas beragama Islam, namun bagi penduduk yang non-Islam tak enggan untuk membantu membersihkan jalanan yang akan digunakan untuk acara tersebut Acara ini juga dihadiri oleh satuan organisasi agama Hindu yang ada disana. Hal seperti inilah yang menunjukkan bahwa adanya keberagaman yang ada di Dukuh Linggo membuat sebuah keharmonisasian dalam berkehidupan bermasyarakat.