Artikel ini merupakan salah satu bab dari buku yang berjudul Ekonomi Syariah dalam Dinamika Teori dan praktik yang diterbitkan dari beberapa dosen UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA Program Studi Hukum Ekonomi Syariah pada tahun 2022, yang diterbitkan oleh Penerbit Gerbang Media, Yogyakarta. Diantara Penulis buku ini adalah Muhammad Julijanto, Lutjfiana Zahriani, Susilo Surahman, Andi Cahyono, Zaidah Nur Rosidah, Umi Rohmah, Masjupri, Asiah Wati, Rial Fu'adi Nurul Huda, Rusli, Fauzia Ulirrahmi, Nur Solikin, Haq Muhammad Hamka Habibie dan Arkin Haris. Dalam buku ini terdapat empat bab, bab yang pertama berjudul Ekonomi Syariah Sebagai Bidang Kajian Hukum, bab yang kedua berjudul Regulasi dalam Ekonomi Syariah, bab yang ketiga berjudul Tantangan dan Peluang dan bab yang keempat berjudul Hukum Ekonomi Syariah dan Kebaruan Zaman.
Dalam artikel ini, saya akan memfokuskan hasil riview saya pada pembahasan bab yang kedua tentang Regulasi dalam Ekonomi syariah yang berisi tiga subbab.
Efisiensi Biokrasi Penerbitan Sertifikat Halal di Indonesia
Kewajiban bersertifikat halal bagi produk pangan, obatobatan, kosmetik, rekayasa genetika dan rekayasa biologi di Indonesia pada dasarnya untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya. Negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat, Sertifikat halal di Indonesia yang selama ini telah berjalan memang sudah cukup berperan dalam upaya perlindungan konsumen. Namun, dengan dikeluarkan dan diberlakukannya UU Jaminan Produk Halal No. 33 tahun 2014, diharapkan kepentingan konsumen, khususnya konsumen muslim akan mendapatkan jaminan kepastian halal setiap makanan yang dikonnsumsinya. Hal ini disebabkan, di dalam UUJPH semua produk makanan, minuman, kosmetik, obat dan sebagainya yang beredar di masyarakat wajib bersertifikat halal. Pasal 4 disebutkan bahwa produk yang diperdagangkan dan beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal. Oleh karena kewajiban tersebut, pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal. Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut maka dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kewenangan BPJPH antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan jaminan produk halal, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria jaminan produk halal, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri (Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2015). Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana diatur di dalam UUJPH, maka BPJPH bekerjasama dengan MUI dan lembaga pemeriksa halal (LPH). Selain LPH, pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat halal adalah MUI. Berdasarkan Pasal 76 ayat (2) PP PBJPH menyatakan bahwa sidang fatwa halal MUI dapat dilakukan oleh MUI Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota. Akan tetapi, pada saat ini, MUI Kabupaten/Kota belum diberikan kewenangan untuk menyidangkan fatwa halal. Kewenangan untuk menyidangkan fatwa halal masih berada di MUI Provinsi dan MUI Pusat. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor tidak efisiennya peraturan tentang sertifikat halal sehingga mengakibatkan birokrasi dalam penerbitan sertifikat halal menjadi tidak efisien. Agar kewajiban bersertifikat halal dapat dipenuhi oleh pelaku usaha, maka harus dibentuk BPJHP Daerah agar birokrasi penerbitan sertifikat halal dapat berjalan secara efisien. Dengan terbentuknya perwakilan di daerah kabupaten/kota, pelayanan yang diberikan kepada pelaku usaha menjadi mudah untuk dijangkau dan birokrasi dalam penerbitan sertifikat halal menjadi lebih cepat.
Regulasi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia dan Perkembangan Keuangan Syariah
Eksistensi lembaga keuangan Fatwa dan lembaga keuangan Syariah. MUI, terutama Dewan Syariah Nasional berfungsi sebagai lembaga fatwa telah mendorong perkembangan keuangan syariah Indonesia. Misalnya, Bank Muamalat Indonesia berdiri tahun 1991 setelah adanya diskusi dan workshop mengenai bunga bank dan perbankan dalam Islam oleh MUI 18-20 November 1990. Lembaga keuangan mikro syariah atau BMT juga berdiri di tahun 1992 dan terus berkembang seiring dukungan pemerintah (Choiruzzad & Nugroho, 2013). Saat ini Indonesia telah memiliki 12 bank umum syariah, 21 Unit Usaha Syariah, 166 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan sekitar 4500 BMT, kehadira Fatwa DSN MUI tidak saja memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan praktisi tetapi juga khusunya mendorong pertumbungan keuangan syariah di Indonesia. Regulasi fatwa DSN MUI terkait keuangan Syariah. Regulasi fatwa DSN MUI dalam Undang-undang. Sebagian fatwa DSN MUI telah dimuat dalam peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia. Misalnya, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah telah mengatur bahwa aktivitas bank syariah, unit usaha syariah, bank pembiayaan rakyat syariah berdasarkan prinsip syariah. Regulasi fatwa DSN MUI melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Perma No 2 tahun 2008 mengenai kompilasi hukum ekonomi syariah (KHES) telah diterbitkan. Isi buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri dari 4 bab, yaitu subjek hukum dan amwal (harta/benda), akad (perjanjian), zakat dan hibah, serta akuntansi syariah. Regulasi fatwa DSN MUI dengan peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perbankan syariah ada sekitar 92 aturan semenjak 2004 hingga 2013. Ada sekitar lebih dari puluhan fatwa DSN MUI yang mengatur mengenai produk perbankan syariah yang sudah ditindak lanjuti dalam peraturan BI ataupun SEBI. Regulasi fatwa DSN MUI didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Surat Edara Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia. Misalnya, OJK mengeluarkan peraturan mengenai pasar modal syariah berjumlah 11 aturan dari tahun 2015 sampai dengan 2021. Dasar fatwa DSN MUI mengenai pasar modal syariah ada 24 fatwa, tetapi hanya 6 fatwa DSN MUI yang dijadikan dasar perkembangan pasar modal syariah. Pentingnya Regulasi Fatwa DSN MUI bagi Perkembangan keuangan Syariah di Indonesia, Fatwa DSN MUI hanya setingkat dengan pendapat hukum (legal opinion) yang sifatnya opsional (pilihan yang tidak mengikat) untuk dilaksanakan. Untuk menjadikan fatwa DSN MUI sebagai hukum positif diperlukan peraturan perundangundangan yang merujuk pada fatwa DSN MUI, selain dijadikan yurisprudensi melalui putusan pengadilan yang didasarkan pada fatwa DSN MUI. Regulasi fatwa DSN MUI seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya merupakan bentuk dari positivisasi fatwa DSN MUI untuk dijadikan sumber atau dasar hukum yang lebih kuat dan mengikat dalam praktik keuangan syariah di Indonesia. Misalnya, Undang-undang No 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan UU No 19 tahun 2008 tentang Surat berharga syariah negara, atau Peraturan Mahkamah Agung No 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah menyebutkan ketentuan prinsip syariah sebagaimana ditetapkan dalam fatwa DSN MUI. kepentingan praktis sosial kemasyarakatan. Fatwa DSN MUI memliki struktur isi yang khas, yaitu dasar hukum Islam yang mencakup al-Qur'an, hadith, ijma', qiyas, kaidah fiqhiyyah, dan pendapat ulama, yang diikuti dengan definisi istilah serta ketentuan umum suatu akad atau yang berkaitan dengan praktik ekonomi dan keuangan syariah. Mengingat ketentuan fatwa secara umum demikian, maka regulasi fatwa dibutuhkan untuk memberikan ketentuan rinci dan operasional agar lebih mudah pelaksanaannya pada praktik keuangan syariah/ ekonomi syariah.
Penyelenggaraan Hotel Syariah dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI NO.108/DSN-MUI/X/2016 Tentang pedoman Penyelenggara Pariwisata berdasarkan Prinsip Syariah
Bisnis dengan berlabel syariah di Indonesia diawali dengan berdirinya bank syariah pertama yaitu Bank Muamalah Indonesia (BMI) pada tahun 1991 dan resmi beroperasional pada 1 Mei tahun 1992. Dunia perbankan syariah ini sebagai pioner awal dicanangkan ekonomi syariah di Indonesia, Kehadiran Hotel Syariah tidak hanya sebagai label belaka. Pelabelan syariah membawa konsekuensi logis bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hotel syariah harus mengikuti dan patuh terhadap ketentuan syariah, baik dalam pengelolaanya maupun kegiatan operasionalnya. Bersama dua peraturan tersebut, terutama dengan Fatwa DSNMUI diharapkan semua kegiatan hotel syariah telah memenuhi prinsip-prinsip Syariah. Hal inilah yang menjadi masalah, apakah hotel syariah khususnya yang berada di Solo atau Surakarta dalam penyelenggaraanya sudah memenuhi ketentuan Fatwa tersebut, karena dibeberapa kota masihBerdasarkan analisis maka penyelenggaraan Hotel Syariah di Surakarta dapat dismpulkan dengan Pola penyelenggaraan Hotel Syariah di Surakarta menerapkan Aspek Produk, Aspek layanan, Aspek Pengelolaan, dan perspektif Fatwa DSN-MUI tentang penyelenggaraan hotel Syariah di Surakarta secara umum telah memenuhi dan sesuai dengan ketentuan aturan yang telah ditetapkan pada Fatwa tersebut.
Artikel ini dibuat oleh Nisrina Asyifa Tarindita dengan Nim 222111042 Mahasiswa UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA progam studi Hukum Ekonomi Syariah dalam mata kuliah Sosiologi Hukum dengan dosen pengampu Bapak Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.
#prodihes
#fakultassyariahuinradenmassaidsurakarta