Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keanekaragaman agama yang dianut oleh masyarakatnya. Secara resmi, terdapat enam agama di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Berbagai agama tersebut memiliki tempat ibadah berupa bangunan yang dibaluti gaya arsitektur dengan menyimpan makna tersembunyi. Salah satu contohnya tempat ibadah agama Islam biasa disebut dengan masjid. Secara terminologi, masjid merupakan tempat beribadah umat Islam, seperti salat. Akan tetapi, masjid juga digunakan sebagai tempat pengembangan ilmu pendidikan, penyebaran Islam, dan pemersatu bangsa (Zuhrah dan Yumasdaleni, 2021: 322). Perkembangan bangunan masjid saat ini, tidak hanya memerhatikan kenyamanan untuk beribadah saja melainkan dalam hal arsitekturnya yang memiliki kesan keindahan. Estetika merupakan ilmu yang mempersoalkan tentang keindahan alam maupun seni. Selain itu, estetika digolongkan menjadi dua yaitu estetika alami dan buatan. Pertama, estetika alami merupakan karya yang tidak dapat dibuat oleh manusia seperti gunung, laut, dan sebagainya. Kedua, estetika buatan merupakan karya yang diwujudkan oleh manusia sebagai benda-benda yang memiliki nilai seni seperti bangunan, patung, dan sebagainya (Utomo, 2010: 1-2). Hal tersebut berhubungan dengan bangunan masjid yang memiliki gaya arsitektur berupa akulturasi budaya yaitu Masjid Agung Banten yang berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.
Banten merupakan provinsi yang berada di Pulau Jawa, sebelumnya Banten termasuk bagian dari Provinsi Jawa Barat. Tetapi sejak tahun 2000, Provinsi Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat dan membentuk provinsi tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan keputusan dalam (UU No.23 Tahun 2000) dan Kota Serang menjadi ibukota Provinsi Banten. Masjid Agung Banten merupakan peninggalan bersejarah dari Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam di Nusantara. Masjid Agung Banten dibangun tahun 1652 M pada masa pemerintahan putera pertama Sunan Gunung Djati yaitu Sultan Maulana Hassanuddin (Indriastuty, Efendi, dan Saipudin, 2020: 120). Saat ini masjid Agung Banten telah menjadi cagar budaya yang mana di dalam masjid ini terdapat makam-makam para sultan yang pernah memimpin Kesultanan Banten dan makam tersebut masih ramai dikunjungi masyarakat yang ingin berziarah dari berbagai daerah. Selain itu, Masjid Agung Banten memiliki keunikan gaya arsitektur berupa akulturasi tiga aspek kebudayaan yaitu Cina, Belanda, dan Arab. Gaya arsitektur tersebut memiliki filosofi yang mengandung tanda beserta makna. Semiotika menurut Ferdinand de Saussure merupakan kajian mengenai tanda dalam kehidupan sosial, mencakup apa saja tandanya dan hukum apa saja yang mengatur tanda. Bentuk fisik dari tanda oleh Saussure disebut penanda (signifier) dan konsep mental terkait dengannya petanda (signified) dapat dilakukan dengan ikonik dan arbitrer (Sitompul: 2021 dalam Sinaga 2023: 263). Kedua hal tersebut dapat ditemukan dalam akulturasi gaya arsitektur Masjid Agung Banten.
Estetika dalam akulturasi gaya arsitektur Masjid Agung Banten dapat dibuktikan melalui gambar, sebagai berikut.
1. Arsitektur Cina dalam Atap Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten memiliki atap yang terdiri dari lima tingkat berbentuk bujur sanggar setinggi 30 m berupa atap tumpang tersusun semakin ke atas menjadi mengecil dan paling atas berbentuk limas yang disebut kubah. Atap terbuat dari genteng dengan memolo pada puncaknya berukuran 1,2 m yang terbuat dari tanah liat. Rancangan atap Masjid Agung Banten mirip dengan pagoda Cina merupakan karya arsitek Tjek Ban Tjut yang pernah menjadi arsitek pembantu Raden Sepat (asal dari Kerajaan Majapahit).
2. Arsitektur Belanda dalam Menara dan Tiyamah Masjid Agung Banten
Sisi timur Masjid Agung Banten terdapat sebuah menara yang menjadi ciri khas masjid ini. Menara Masjid Agung Banten terbuat dari batu bata dengan diameter bagian bawah kurang lebih 10 m. Menara masjid ini yang berbentuk segi delapan mirip dengan Mercusuar Belanda. Dahulu menara ini digunakan sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan, sedangkan saat ini mengumandangkan adzan di menara hanya dilakukan ketika melaksanakan salat Jumat. Selanjutnya, terdapat Tiyamah atau paviliun merupakan bangunan bertingkat yang terletak di selatan Masjid Agung Banten. Masing-Masing tingkat memiliki tiga ruangan berderet dari barat-timur. Atap tiyamah berbentuk limasan yang ditunjang oleh dinding-dinding. Menara dan tiyamah Masjid Agung Banten dirancang oleh arsitek Belanda yaitu Hendrik Lucaz Cardeel.
3. Arsitektur Arab dalam Pintu Masuk, Mimbar, dan Payung Raksasa Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten memiliki enam pintu masuk masjid yang berada di sisi depan dan pintu ini sengaja dibuat pendek. Setelah memasuki pintu akan tampak ruangan salat bagi pengunjung dan adanya mimbar yang berada di dalam Masjid Agung Banten terpampang tulisan arab gundul pada lengkungan depan mimbar yang penuh hiasan beserta warna. Selain itu, di mimbar terdapat pedang bermata dua. Selanjutnya, terdapat bangunan baru di Masjid Agung Banten berupa payung raksasa berjumlah kurang lebih sepuluh bangunan yang mirip dengan Masjid Nabawi, Madinah.
Berdasarkan akulturasi gaya arsitektur di atas yang dibuktikan melalui gambar memunculkan adanya makna yang dapat dianalisis menggunakan semiotika Ferdinand de Saussure, sebagai berikut.