Sastra lisan merupakan karya sastra yang disebarkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut (lisan). Terdapat jenis-jenis sastra lisan, salah satunya legenda yang berarti dianggap oleh pemilik cerita sebagai suatu kejadian asli dan pernah benar-benar terjadi. Pemilik atau pencipta cerita tersebut bersifat anonim (tidak diketahui) karena berhubungan dengan proses penyebarannya.
Setiap daerah memiliki legenda masing-masing yang kehadirannya menjadi ciri khas daerah tersebut. Berikut ini terdapat dua legenda yang berasal dari pulau Sumatera dan Jawa yaitu legenda Gunung Pinang dari Provinsi Banten serta legenda Malin Kundang dari Provinsi Sumatera Barat.
Kehadiran dua legenda tersebut terselip persamaan dan perbedaan dari segi unsur intrinsiknya atau unsur pembangun dalam sebuah cerita yang terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Akan tetapi, terdapat perbedaan yaitu pada bagian akhir penceritaan.
Legenda Gunung Pinang merupakan bentuk sastra lisan dari masyarakat Banten. Gunung ini terletak di Serang, Banten yang eksistensinya menyimpan cerita menarik yang tidak semua orang mengetahuinya bahkan gunung ini pernah menjadi destinasi wisata masyarakat Banten. Akan tetapi, sekarang telah berubah sehingga mengharuskannya untuk ditutup dengan alasan tidak diketahui secara pasti. Berikut ini legenda Gunung Pinang.
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang janda dan anak laki-lakinya bernama Dampu Awang di pantai Teluk Banten. Mereka hidup serba kekurangan sehingga membuat Dampu Awang berniat merantau ke negeri Malaka karena di sana banyak pekerjaan. Niat tersebut disampaikan kepada ibunya, ternyata ibunya menentang karena merasa cukup walaupun hidup susah.
Hal tersebut membuat Dampu Awang melamun pada siang dan malam hari sehingga membuat ibunya tidak tega. Alhasil memberikan izin kepada Dampu Awang untuk merantau dengan syarat harus rajin mengirimkan kabar melalui burung merpati bernama Ketut yang dahulunya piaraan ayahnya.
Saat itu terdapat saudagar kaya raya dari Samudera Pasai bernama Teuku Abu Mastyah bersama puterinya, Siti Nurhasanah sedang berlabuh di Teluk Banten. Dampu Awang pun ikut berlayar dan bekerja kepada saudagar tersebut. Selama bekerja Dampu Awang berprilaku baik sehingga saudagar menjodohkannya dengan Siti Nurhasanah dan berhasil menikah. Kemudian, sepeninggal saudagar, Dampu Awang mewarisi seluruh kekayaannya.
Selama satu dasawarsa Dampu Awang merantau telah mengirim empat kali surat kepada ibunya. Suatu hari, tersebar kabar bahwa terdapat saudagar kaya raya yang berlabuh di Teluk Banten. Hal tersebut terdengar di telinga ibu Dampu Awang sehingga berharap saudagar tersebut anaknya. Dampu Awang datang bersama istrinya, disambut dan dikerumuni oleh penduduk sekitar tepi pantai.
Ibu Dampu Awang sangat senang melihat yang datang adalah anaknya sehingga memanggil nama Dampu Awang dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, kekayaan mengubah perilaku Dampu Awang yang tidak mengakui ibunya yang sudah tua. Ketika istrinya menanyakan kebenaran tentang ibunya, Dampu Awang tetap tidak mengakui dan menganggap ibunya telah meninggal. Hal tersebut membuat Dampu Awang mengurungkan niatnya untuk bertemu Sultan Banten dan hari itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan perjalanan.
Ibu Dampu Awang sangat terluka hatinya sshingga berdoa kepada Tuhan bahwa jika Dampu Awang bukan anaknya, berikanlah dia keselamatan dan jika benar anaknya berikanlah hukuman yang setimpal. Setelah itu, siang yang cerah berubah menjadi gelap seperti malam disertai hujan, petir, dan kilat yang saling menyambar. Hal tersebut membuat kapal Dampu Awang terombang-ambing membuat anak buahnya ketakutan dan menceburkan diri ke laut.