Setiap Imlek tiba, saya selalu teringat kue keranjang. Kue manis berwarna coklat ini dulu sempat beberapa tahun rutin keluarga kami cicipi saat perayaan Imlek.
Di lingkungan rumah orang tua saya, kami pernah bertetangga dengan sepasang kakek nenek yang berasal dari etnis Tionghoa di Pontianak. Mereka pindah dari Singkawang Kalimantan ke Tangerang di era tahun 90-an.
Sang kakek yang biasa dipanggil 'Engkoh' membuka toko sembako di perumahan kami. Posisi rumah mereka yang berada di perempatan jalan jelas sangat menguntungkan untuk berjualan.
Saya ingat betul, Engkoh itu lebih lancar berbahasa Mandarin daripada bicara Bahasa Indonesia. Dirinya sering membaca koran beraksara Mandarin sambil menunggu pembeli di tokonya.
Kalender yang dipasang di tokonya pun berhurufkan Mandarin. Engkoh dan istrinya memang masih sangat menjaga tradisi budaya Tionghoa dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Rumah sekaligus toko mereka selalu dihiasi ornamen setiap menjelang Imlek. Hiasan dan lampion merah pastinya tampak jelas dipasang sebelum Imlek.
Saat Imlek, toko mereka pastinya tutup. Namun, semasa hidupnya dulu sang Engkoh rajin mengantarkan kue keranjang ke tetangga satu gangnya, termasuk ke rumah orang tua saya meskipun kami bukan Tionghoa.
Ketika pertama kali memberikan kue keranjang, Engkoh berkacamata itu berkata seperti ini,
"Ini kue keranjang khas Imlek. Nama aslinya Nian Gao. Tenang aja, kuenya halal kok."
Maklumlah mayoritas tetangganya adalah pribumi Muslim yang tidak merayakan Imlek seperti beliau.