Memang tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Tak terkecuali Hari Kartini dan Hari Bumi yang diselenggarakan secara berturut-turut. Di Indonesia, Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April dan Hari Bumi Internasional (World Earth Day) sehari setelahnya atau 22 April.
Bagi kaum wanita Indonesia, peringatan Hari Kartini setiap tahunnya lebih dari sekedar acara seremonial. Perjuangan Ibu Kartini seabad lampau untuk memperjuangkan kesempatan pendidikan yang setara bagi perempuan bumiputera tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan untuk wanita bangsawan sekelas Kartini sekalipun.
Terlahir dari keluarga priyayi (bangsawan Jawa), Kartini menyaksikan sendiri nasib ibu kandungnya yang dianggap sebatas mesin penghasil keturunan. Separah itukah kondisinya? Pasti begitu pikir kaum wanita modern saat ini. Tapi, itulah memang yang terjadi pada ibu biologis Kartini yang memang tidak berdarah biru layaknya sang suami atau ayahanda Kartini.
Demi menunjang karirnya, ayah Kartini pun menikah lagi dengan wanita bangsawan dan Kartini pun harus 'menganggap' ibu tirinya sebagai ibu kandung. Kartini muda dapat melihat sendiri, betapa ibu kandungnya -- wanita non-bangsawan -- harus memanggil putri kandungnya sendiri yaitu Kartini dengan sebutan 'Ndoro Putri (Tuan Putri)'.
Kenyataan yang menyakitkan meskipun tampak sederhana karena (hanya) sebatas urusan pemanggilan nama. Toh, di dalam hati dan secara darah, bukankah Kartini selalu menganggap ibu kandungnya adalah wanita biasa yang bukan ningrat tersebut? Bisa jadi, itu anggapan banyak orang.
Namun, justru hal sesederhana itulah yang menimbulkan simpati dan empati dari seorang Kartini terhadap takdir ibunya dan juga dirinya kemudian. Sebagai wanita, Kartini dapat merasakan langsung, strategisnya peran seorang wanita sebagai seorang putri, isteri, dan juga ibu.
Kalau tidak, mengapa ayahnya harus menikah lagi dengan istri keduanya demi peningkatan status sosial-ekonominya? Hal itulah yang menyadarkan Kartini bahwa di kehidupan ini, wanita adalah mitra setara pria.
Pernikahan Kartini sendiri kemudian pun bukan hanya melulu urusan romansa cinta dan mabuk asmara. Suami Kartini, Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat, adalah pria yang dapat memahami sekaligus mendukung cita-cita mulia sang istri tercinta dalam memajukan kehidupan perempuan Nusantara. Maka, dibangunlah 'Sekolah Kartini' setelah mereka resmi menikah.