Lihat ke Halaman Asli

Khairunisa Maslichul

TERVERIFIKASI

Profesional

Konsumsi Gizi Seimbang, Penghasilan pun Berkembang

Diperbarui: 27 Juli 2018   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Pixabay)

Sehat itu mahal.  (Hampir) semua orang sudah mengetahuinya.  Anehnya masih saja banyak orang yang lebih senang mengobati daripada mencegah.  Ingat, kesehatan itu serupa mahkota di atas kepala orang sehat yang hanya dapat dilihat oleh orang sakit. 

Padahal, menjalani dan mempertahankan gaya hidup sehat itu lebih mudah dan juga murah lho.  Salah satunya dengan mengonsumsi gizi seimbang.  Pasti kebanyakan orang Indonesia pernah mendengar istilah gizi ini "4 Sehat 5 Sempurna".  

Istilah gizi tersebut mengacu pada susunan menu yang ideal dikonsumsi sehari-hari yaitu nasi/roti, sayur-mayur, lauk-pauk, dan buah-buahan serta dilengkapi dengan susu.  Mungkin banyak yang berkomentar: "Bagus sudah bisa makan.  Urusan gizi tuh belakangan."

Padahal, gizi itu berperan utama dalam kesehatan seseorang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.  Orang dewasa yang mudah sakit umumnya memiliki riwayat konsumsi makanan saat remaja dan anak-anak yang kurang atau malah tidak bergizi. 

Pola makan sehat dan tepat idealnya dijalani seisi keluarga (ebooks.gramedia.com)

Saat ditarik ke belakang lagi, anak-anak dan remaja yang tidak atau kurang fit itu biasanya sudah kekurangan gizi dari masa bayi dan balitanya. Ibarat tanaman, jika sejak awal sudah kekurangan pupuk, maka pertumbuhannya tidak akan optimal. Periode kritis untuk memprediksi tingkat kesehatan seseorang di masa depan adalah kecukupan asupan gizi selama 1000 HPK

HPK merupakan singkatan dari "Hari Pertama Kehidupan." 1000 HPK yaitu dari seorang bayi dikandung hingga berusia 2 - 3 tahun.  Usia 0 sampai 5 tahun terkenal juga sebagai golden age (masa usia emas anak usia dini). Pola pengasuhan orang tua serta kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak di masa balitanya sangat menentukan kualitas masa depan hidupnya.

Logikanya sederhana saja. Bayi dan balita yang konsisten diberi makanan bergizi akan tumbuh berkembang menjadi anak yang sehat dan cerdas lalu setelah dewasa, produktifitas kerjanya tinggi. Jikalau seorang dewasa selalu aktif dan enerjik bekerja, maka penghasilannya pun akan terus bertambah dan berkembang. Kesejahteraan diri dan keluarganya menjadi lebih terjamin karena kondisi badan dan pikiran yang fit.

Gizi sejak bayi menentukan tingkat kesehatan dan penghasilan di kemudian hari (promkes.depkes.go.id)

Lain ceritanya jika dari bayi, seseorang sudah kekurangan gizi (malnutrisi) ataupun malah kelebihan gizi. Saat mengalami malnutrisi atau over nutrisi, seseorang akan mudah terkena penyakit. Contohnya jika kurang vitamin A, maka kesehatan mata akan menurun. Untuk yang kebanyakan makan, resikonya badan mengalami kegemukan (obesitas/overweight) dan bisa berujung dengan penyakit degeneratif - yang luar biasa mahal biaya perawatannya - seperti jantung koroner dan hipertensi (tekanan darah tinggi).

Saat dulu kuliah pada Jurusan Gizi dan Pangan di Kota Hujan atau Bogor, saya dan mahasiswa lainnya sering ditugaskan dosen untuk melakukan survei ke anak balita dan juga usia sekolah. Tugas kami adalah mendata pertumbuhan dan perkembangan mereka: Sudah sesuaikah dengan standar untuk kategori setiap tahapan usianya.

Maka, jadilah posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), RS (Rumah Sakit), dan Sekolah-sekolah menjadi tempat tujuan kunjungan kami untuk observasi gizi anak.  Ternyata saya berulang kali mendapati. Anak sekolah yang mudah sakit-sakitan itu semenjak bayinya memang mengalami masalah gizi, terutama gizi kurang. Selain gampang sakit, kemampuan intelektual mereka juga di bawah rata-rata sehingga ada beberapa yang tinggal kelas.

Kurang gizi jelas mempengaruhi kondisi fisik dan pencapaian prestasi (www.kesmas.kemkes.go.id)

Temuan itu tidak berhenti di situ saja. Ketika ditelusuri latar belakang keluarganya, mayoritas anak yang mengalami malnutrisi tersebut berasal dari keluarga kurang mampu secara sosial ekonomi. Orang tua mereka umumnya hanya lulus SD dan SMP. Bahkan ada yang tidak tamat SD. Aduh, miris sekali rasanya setiap kali melihat fenomena menyedihkan tersebut.....
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline