Lihat ke Halaman Asli

Khairunisa Maslichul

TERVERIFIKASI

Profesional

Nelayan, Perempuan, dan Kesehatan

Diperbarui: 6 April 2020   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kompas.com/Yohanes Irawan

Sekilas tiga kata di atas tidak saling berkorelasi.  Namun, di bulan April ini, ketiga kata tersebut memiliki momentumnya masing-masing. 

Hari Nelayan Indonesia diperingati pada 6 April, Kesehatan Sedunia dirayakan setelahnya atau 7 April, dan dua minggu berikutnya, 21 April adalah Hari Kartini. Ketiganya dapat disinergikan menjadi satu dalam bentuk pemberdayaan perempuan.

Selama ini, profesi nelayan identik dengan profesi maskulin. Hal tersebut karena mayoritas nelayan yang pergi melaut adalah kaum pria atau kepala keluarga. 

Saat mengajak anggota keluarga untuk turut membantu menangkap ikan di lautan luas, anak laki-laki yang dipilih, bukan anak perempuan. 

Istri yang juga ibu bersama anak perempuannya lalu menunggu di rumah selama sang ayah dan anak laki-laki pergi ke laut.  Tetapi, apakah berarti peran perempuan, terutama secara ekonomi, dalam keluarga nelayan menjadi tidak signifikan?

Para Kartini masa kini yang berprofesi sebagai nelayan (http://maritimnews.com)

Pertanyaan tersebut tepat untuk dijawab dengan jawaban "tidak."  Lima tahun lalu, peringatan hari Perempuan Sedunia pada 8 Maret 2013 di Jakarta menganugerahkan gelar Perempuan Pejuang Pangan pada dua orang perempuan nelayan, Jumiati dan Habibah.  

Jumiati berasal dari Serdang Berdagai, Sumatera Utara dan Habibah tinggal di ibu kota, tepatnya Marunda Kepu di Jakarta Utara.  Kedua perempuan tersebut menjadi contoh nyata bahwa nelayan perempuan memiliki peran strategis dalam pemberdayaan kondisi sosial dan ekonomi. 

Jumiati/kerudung coklat, dan Habibah/topi hitam adalah nelayan yang menjadi tumpuan nafkah seisi keluarga (http://www.beritasatu.com)

Kisah hidup Jumiati patut menjadi inspirasi. Setelah melahirkan anak pertamanya pada tahun 2002, dia bertekad memiliki penghasilan tambahan untuk membantu suaminya, seorang nelayan namun tanpa kapal. 

Caranya adalah dengan menanam mangrove di sekitar pantai di daerah mereka bersama nelayan perempuan lainnya. Hasilnya antara lain tepung kue, dodol, dan kerupuk dari buah serta teh dari daun mangrove sebagai komoditi perdagangan.

Sedangkan Habibah menggantungkan hidupnya dari menjual kerang yang ada di sekitar pantai Marunda. Kerang tersebut ada yang dimakan maupun dijual.  

Jika masih tersedia lahan yang cukup luas di pesisir Marunda, Habibah dapat pula membudidayakan mangrove seperti halnya Jumiati. Namun karena reklamasi pantai Marunda yang terus-menerus, atas nama pembangunan dan modernisasi, maka budidaya mangrove sulit dilaksanakan di sana.

Selain meningkatkan perekonomian keluarga, kiprah Jumiati dan Habibah juga berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurut Menteri Kesehatan RI, Prof Nila Djuwita F. Moeloek, SpM(K), hingga tahun 2017 lalu, Indonesia masih memiliki angka merah untuk angka kematian ibu dan bayi menurut Millenium Development Goals (MDG) yaitu 305 kasus per 100 ribu kelahiran. 

Target angka yang ditentukan MDG yaitu 102 kasus kematian per 100 ribu kelahiran. Fakta memprihatinkan itu sangat memerlukan kerja sama dari semua pihak, pemerintah dan masyarakat untuk memperbaiki rapor merah tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline