Lihat ke Halaman Asli

Khairunisa Maslichul

TERVERIFIKASI

Profesional

Kita Punya Hak untuk Jalan-jalan Seru Tanpa Merasa Tertipu

Diperbarui: 3 Januari 2018   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: boredpanda.com

Akhir dan awal tahun identik dengan liburan. Lokasi wisata pun diserbu para wisatawan lokal dan asing. Turis yang berduit bisa pergi ke luar negeri sedangkan pelancong yang ala kadar dananya cukup (bahagia) berlibur di dalam negeri saja. #bukancurhat

Selain dana, pemilihan lokasi liburan juga dipengaruhi oleh informasi tentang obyek wisata yang tersedia. Sebelum adanya internet, keberadaan lokasi wisata lebih banyak diketahui dari promosi mulut ke mulut (words of mouth). Sekarang? Cukup mengetikkan kata kunci obyek wisata yang dituju di Google, maka ribuan barisan informasi via dunia maya pun bermunculan.

Lalu, bagaimana dengan kualitas informasi tersebut? Jelas ada artikel di internet yang kebenaran informasinya dapat dipercaya. Tapi tak sedikit pula yang kebenarannya informasinya bahkan tak sampai 50%! Idealnya sih, sebelum datang ke lokasi wisata, kita bisa menyurvei tempatnya dulu. Tapi, kalau tidak sempat, mau tak mau, googling di internet jadi solusinya.

Nah, berdasarkan kompilasi pengalaman pribadi dan curhatan dari sana-sini, saya pun mendapati ada 3 (tiga) poin yang seringkali berbenturan antara harapan dan kenyataan saat liburan. Apa sajakah ketiganya? Silakan terus membaca hingga akhir artikel ini ya.

Foto di lokasi wisata bisa membantu maupun menipu calon wisatawan berikutnya lho! (Dokpri)

Foto memesona hati, nyatanya standar sekali
Ternyata, bukan cuma urusan kencan yang kerap berurusan dengan manipulasi foto alami (apa adanya) manusia menjadi foto penuh pesona. Tempat wisata pun tak lepas dari urusan retouch untuk penampakan di media visualnya. Di foto website dan media sosialnya, mirip danau kelas dunia yang instagramable. Aslinya? Tak jauh seperti kolam pemancingan pada umumnya. Hadeuh, tepok jidat!

Junior saya di kampus pernah mengalami kasus serupa. Informasi dari internet menunjukkan satu lokasi wisata budaya lokal yang (tampaknya) luar biasa eksotis dan penuh nilai historis di Pulau Jawa. Apalagi website yang mengelola cagar budaya tersebut menunjukkan (lumayan) banyaknya turis asing di sana. Maka, bersama teman sekelasnya dengan semangat 45 --terutama mahasiswa dari luar Jawa-- dia mengunjungi tempat tersebut. 

Aliran sungai (kecil) ini saat diedit sana-sini bisa seindah sungai yang Instagramable pastinya (Dokpri)

Namun, apa yang terjadi di sana? "Ini apa bedanya dengan perdesaan zaman now?!" begitu keluh mereka di sana. Harapan mengunjungi lokasi permukiman layaknya Kaum tradisional Amish di Amerika Serikat pun jauh dari kenyataan. Mulai rumah penduduk, busana yang dipakai, tak cukup menunjukkan bahwa daerah tersebut layak disebut cagar budaya.

Okelah, harapan memang (seringnya) tak akur dengan kenyataan. Sejak mendengar cerita itu, saya pun mengurangi tingkat kepercayaan sekaligus harapan terhadap foto-foto tempat wisata yang dipasang di dunia maya hingga 30% sebelum mendatanginya langsung. Lebih baik berharap biasa saja namun ternyata aslinya malah luar biasa daripada sebaliknya, ya kan?

Ulasan trip memotivasi, aslinya bikin emosi
Kadang memang sulit untuk membedakan antara review yang berbayar dengan ulasan sukarela. Tapi, jujur saya lebih percaya dengan review yang berimbang, terutama untuk lokasi traveling. Kalau sang reviewer bisa menulis sisi positif plus sisi negatif obyek wisata yang pernah didatanginya, berarti sebagai calon wisatawan berikutnya, kita bisa lebih menyesuaikan harapan.

Keluarga paman dan bibi saya pernah terjebak macet berjam-jam dari dan ke lokasi wisata alam di Puncak yang beberapa tahun lalu sempat hits. Mereka termasuk orang tua modern yang melek internet sehingga sebelum ke sana, mereka (merasa) sudah cukup memiliki informasi setelah membaca banyak ulasan artikel di dunia maya serta media sosial tentang obyek wisata itu.

Lapangan hijau ini aslinya tak seindah dan selapang sebagaimana review yang ada di dunia maya (Dokpri)

Tambah termotivasi lagi karena para reviewer tersebut mengklaim lokasi traveling tersebut sangat cocok untuk "wisata keluarga" yang nyaman dan sejuk untuk makan di tempat terbuka dengan fasilitas kamar mandi lengkap. Jadilah mereka sekeluarga dengan penuh suka cita berangkat ke sana. Apa daya, di sana, tempat terbuka itu ternyata tak terawat sehingga banyak sampah di mana-mana. Kamar mandi yang (katanya) oke itu pun tak jauh beda dengan yang ada di terminal bus dan stasiun. Sepulang dari sana, bibi saya otomatis mengomel sepanjang jalan.

So, selain review yang berimbang di internet, maka pengakuan jujur dari keluarga, teman, dan rekan yang pernah mendatangi langsung tempat liburan itu, kini menjadi panduan saya saat traveling. Lebih baik lagi kalau mempunyai saudara dan kenalan yang merupakan penduduk asli di sekitar obyek wisata tersebut hingga mereka telah mengenal baik lokasi itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline