Membaca merupakan budaya dan kebiasaan yang sudah mengakar kuat di banyak negara maju. Contoh terkenalnya adalah di Jepang. Warga negara Sakura tersebut dikenal doyan membaca di mana saja, termasuk di keramaian pada tempat terbuka, tak terkecuali di sarana transportasi umum. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University bersama UNESCO (badan PBB untuk bidang budaya dan pendidikan) pada tahun 2016 lalu mengenai “Most Literate Nation in The World”, peringkat minat membaca dan indeks literasi atau kemampuan baca-tulis penduduk Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 61 negara yang diteliti (Thailand ada pada urutan ke-59 dan Bostwana di peringkat ke-61). Temuan itu jelas menyedihkan. Padahal, salah satu indikator kemajuan suatu bangsa adalah tingginya minat baca masyarakatnya.
Maka itulah, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) – telah berusia tepat ke-60 tahun pada 21 Februari 2017 – turut berperan serta aktif dalam mendukung tercapainya ketersediaan buku untuk meningkatkan minat baca rakyat Indonesia, khususnya generasi muda. Peluncuran rogram kepedulian BCA untuk memajukan Indonesia melalui minat baca yaitu “Buku untuk Indonesia” diawali dengan forum talkshow Kafe BCA 5 pada Rabu, 15 Maret 2017. Kafe BCA 5 tersebut menghadirkan sejumlah pembicara yang sekaligus pakar di bidang literasi dan dunia baca antara lain M. Syarif Bando (Kepala Perpustakaan Nasional RI), Dadang Sunendar (Staf Ahli Badan Bahasa Kemendiknas RI), Tjut Rifameutia Umar Ali (Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia), dan Lucia Ratih Kusumadewi (Dosen Sosiologi Universitas Indonesia). Acara menarik yang dimoderatori oleh praktisi senior marketing yaitu Yuswohadyjuga dihadiri oleh Andy F. Noya (Duta Baca dan Presenter “Kick Andy” di Metro TV) dan Jahja Setiaatmadja (Presiden Direktur BCA).
Yuswohady memaparkan di awal acara bincang-bincang tentang kisah nyata MC kondang keturunan Afrika di Amerika Serikat, Oprah Winfrey, yang sukses karena kebiasaan membacanya sejak kecil yang ditularkan oleh neneknya. Buku berhasil menghapuskan kemiskinan yang dirasakan Oprah saat masih tinggal di salah satu daerah pertanian kecil : “Books were my pass to personal freedom.” Pengetahuan dari buku membuat Oprah bisa berkarya dengan luar biasa.
Di negara Paman Sam yang dikomandoi Presiden Donald J. Trump saat ini, bahkan di desa terpencil sekalipun (seperti kampung halaman Oprah), penduduk Amerika masih bisa mengakses bahan bacaan. Sayangnya, fasilitas tersebut belum bisa dirasakan penduduk Indonesia. Menurut Syarif Bando, ternyata banyak masyarakat Indonesia yang ingin membaca, namun terbatasi karena minimnya ketersediaan buku yang ada. “Dari Aceh hingga ke Papua, ketimpangan jumlah buku sangat terlihat nyata. Idealnya, 1 orang dapat mengakses minimal 2 buku,” tutur beliau serius. Tambahnya lagi, “Di Indonesia, 1 buku diakses 52 orang. Oleh karena itu, Perpusnas kini banyak melakukan kegiatan ‘jemput bola’ untuk mengakomodasi minat baca masyarakat.
Selaras dengan program ‘jemput bola’ yang dilakukan oleh Perpusnas RI dan ‘Buku untuk Indonesia’ dari BCA, Badan Bahasa dari Kemendiknas RI juga memiliki “Gerakan Literasi Nasional” untuk menyebarkan buku ke seluruh pelosok Indonesia. “Caranya dengan pemerintah mendistribusikan sejumlah buku – di luar bahan ajar – ke sekolah yang tersebar di Indonesia,” papar Dadang Sunendar. Imbuhnya lagi, “Peningkatan minat baca siswa juga termasuk dari program ‘Gerakan Budi Pekerti di Sekolah’ dengan rutin membaca buku di perpustakaan.”
Jika buku sudah tersedia, lalu bagaimana caranya menumbuhkan minat baca? Pakar psikologi anak dan keluarga dari UI, Tjut Meutia mengungkapkan usia 6 tahun pertama seorang (Golden Age) adalah masa paling tepat untuk membiasakan seseorang gemar membaca. “Minat baca seseorang dimulai dari sekelilingnya, terutama dari orang tua dan keluarga dengan membacakan dongeng sebelum tidur (bedtime story). Saat sudah bersekolah, lingkungan pertemanan di sekolah juga mempengaruhi kebiasaan baca anak,” ujar Dekan FPsi UI tersebut. “Biasanya anak yang suka membaca juga akan lebih nyaman berteman dengan para penggemar buku lainnya karena kesamaan minat dan hobi,” urainya lagi.
Namun, masih ada tantangan lainnya yang dihadapi bangsa Indonesia dalam upaya peningkatan minat baca, di luar jumlah ketersediaan buku. “Sejarah masyarakat Nusantara lebih kuat dengan budaya bertutur atau lisan daripada tulisan. Zaman kerajaan kuno dulu, hanya para keluarga raja dan bangsawan yang mempelajari baca-tulis bahasa Sansekerta,” tutur Lucia sebagai pakar sosiologi dari UI. Saat era penjajahan kolonial, polanya pun terulang kembali yaitu hanya keluarga ningrat yang bisa belajar baca-tulis di sekolah Belanda. Menurut Lusia, “Membaca merupakan bagian dari budaya modern. Sedangkan pendidikan di Indonesia masih lebih banyak berupa 1 arah atau siswa menjadi pendengar pasif dari pengajarnya. Sambungnya lagi, “Sedangkan dengan membaca, siswa akan terbiasa berpikir kritis, analitis, dan reflektif (deep thinking & learning) sehingga buku-buku yang dibacanya benar-benar menjadi jendela dunia seperti yang dialami Oprah semasa kecilnya dahulu.” #belajarlebihbaik
Kafe BCA 5 minggu lalu semakin seru (dan juga lucu) dengan penuturan Andy Noya tentang kisah hidupnya yang banyak terselamatkan karena hobi membacanya. Dibesarkan dari keluarga broken home, ibunda Andy yang berprofesi sebagai penjahit mati-matian menyisihkan penghasilannya untuk membeli koran ‘Suara Karya’ saat Andy masih SD. Pengorbanan yang sangat luar biasa menyentuh karena untuk makan sehari-hari pun, keluarga mereka masih kesulitan. Saat menceritakan pengalaman mengharukan itu, Andy sempat terbata-terbata karena luapan emosi yang tak tertahankan ketika mengingat kasih ibunya yang sepanjang jalan.
Selain sang ibu tercinta, sosok wanita hebat lainnya yang mendukung minat baca Andy yaitu guru Bahasa Indonesia semasa dirinya juga masih di SD. Ibu guru nan baik hati tersebut mengetahui Andy yang jago soal karang-mengarang tulisan itu tak mampu membeli majalah ‘Kuncung’ yang diperuntukkan bagi anak usia SD. Jadilah beliau rutin meminjamkan Kuncung dengan menaruhnya di meja sekolah Andy saat majalah tersebut datang ke sekolah mereka.
Saat Andy berkisah tentang Kuncung, saya pun lantas teringat kegemaran saya membaca majalah anak terbitan Kompas Gramedia yaitu majalah ‘Bobo’. Mulai TK nol besar hingga kelas 3 SD, orang tua saya yang 100 persen membelikan majalah berlogo keluarga kelinci yang imut dan harmonis itu. Nah, mulai saya kelas 4 hingga 6 SD, orang tua pun membiasakan saya untuk menabung uang jajan harian saya agar setiap minggunya dapat membeli Bobo tanpa harus dibelikan lagi sepenuhnya oleh mereka. Hari membeli Bobo selalu saya tungggu-tunggu kala itu.