Lihat ke Halaman Asli

Khairunisa Maslichul

TERVERIFIKASI

Profesional

Budaya Sambatan, Solusi Gotong Royong untuk Ketersediaan Perumahan

Diperbarui: 27 Februari 2016   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

["Budaya Sambatan yaitu gotong royong membangun rumah warga yang terkena banjir di Desa Wonosoco Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus"]

Ada yang berencana membeli atau membangun rumah tahun 2016 ini? Rumah memang masih menjadi barang mewah bagi mayoritas rakyat Indonesia. Harga rumah yang dimulai dari nominal ratusan juta rupiah, minimal 120 juta rupiah, tak pelak membuat calon pemilik rumah kelimpungan.

Sekalipun sudah lelah dan bosan menyandang status sebagai “kontraktor”, impian tinggal di rumah idaman milik sendiri jelas tak semudah membalikkan telapak tangan. Fakta ini terutama ditemui di daerah perkotaan di Indonesia. Bagi yang berminat mengajukan kredit rumah ke bank, minimal harus bisa membayar uang muka (down payment) cicilan rumah sebesar 30% dari harga rumah.

Orang tua saya termasuk pemilik rumah tipe 36 di Kota Tangerang yang dibiayai oleh skema Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dari suatu bank. Cicilan kredit rumah yang berjangka waktu selama 20 tahun, syukur Alhamdulillah dapat dilunasi oleh orang tua saya dalam waktu 15 tahun atau 5 tahun lebih cepat. Orang tua saya berprinsip, semakin cepat suatu hutang dilunasi, semakin tenang hidup seseorang.

Saat masih SMP, sebagai bocah ABG, satu waktu saya pernah dibuat bingung dengan harga rumah yang ada. Kebingungan saya waktu itu dilandasi rasa penasaran dengan harga rumah Simbah Kakung dan Putri (Kakek dan Nenek) di daerah Pucuk, Masaran, Sragen. Desa Pucuk tersebut berjarak kurang lebih 2 jam perjalanan dari Kota Solo di Jawa Tengah.

Dengan lugunya, saya bertanya ke orang tua dari Ibu saya ketika sedang liburan sekolah di sana, “Mbah, kredit rumahnya pasti mahal dan lama ya?” Simbah Kakung spontan menjawab, “Kredit rumah opo tho, Nduk*?” Ujar saya lagi, “Rumah Mbah kan luas dan besar. Pasti harganya mahal.”  Giliran Simbah Putri angkat bicara. “Rumah Mbah ini ndak pakai kredit-kreditan. Bangunnya dulu bareng-bareng saudara dan tetangga.” Simbah Kakung menambahkan, “Di desa, dulu membangun rumah warga kuwi yo (itu ya) gotong royong. Saling gantian menyumbangkan tenaganya untuk bapak-bapak dan panganan (makanan) untuk ibu-ibu.”

Simbah Putri menutup diskusi kami bertiga sore itu dengan berkata, “Tapi, itu budaya membangun rumah di desa. Cah saiki (anak zaman sekarang), seperti orang tuamu, wis iso nabung (sudah bisa menabung di bank). Dadi iso bangun omahe dewe (Jadi bisa membangun rumah dengan uangnya sendiri).” Saya pun hanya mengangguk-angguk ketika itu #KenanganMasaRemaja

Kini, belasan tahun setelah perbincangan penuh kenangan tersebut, saya mengetahui bahwa budaya gotong membangun rumah warga di Jawa dikenal sebagai Sambatan. Istilah sambatan secara bahasa Jawa berarti “mengeluh.” Namun, makna sambatan secara luas yaitu “sistem gotong royong antar warga desa di Jawa dengan cara menyumbangkan tenaga secara massal untuk membantu warga lainnya yang sedang memiliki hajat besar seperti membangun rumah atau saat panen.” Kata gotong royong” juga berasal dari bahasa Jawa yang berarti “mengangkut atau memikul sesuatu secara bersama-sama (gotong = angkat atau pikul dan royong = bersama-sama).”

Semangat gotong-royong juga menjiwai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kata gotong royong juga digunakan dalam dua era pemerintahan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) di masa Presiden Soekarno tahun 1959 dan Kabinet Gotong Royong pada periode Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004.

Budaya gotong royong, termasuk sambatan, sejatinya adalah salah satu bentuk warisan tradisi dan kearifan lokal (local wisdom) dari para leluhur serta pendiri bangsa Indonesia yang layak untuk terus dilestarikan kepada generasi penerus. Contoh konkritnya pada Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep di Blora dan Bojonegoro - terkenal saat zaman Belanda dengan perlawanan anti kekerasannya – yang hingga kini masih konsisten mempraktekkan budaya sambatan dalam keseharian mereka.

Selain saat mendirikan rumah, masyarakat Samin atau Wong Sikep juga menerapkan sambatan dalam kegiatan ekonomi, terutama bantuan tenaga kerja di bidang pertanian. Timbal-baliknya bukan bayaran berupa uang, tetapi juga berbentuk tenaga dari pihak yang telah dibantu sebelumnya (asas resiprositas). Bahkan di Padukuhan Soka Desa Wunung Wonosari Jawa Tengah, sambatan saat panen padi dapat mengurangi biaya pengeluaran petani dan mempercepat proses pemanenan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline