[caption id="attachment_419574" align="aligncenter" width="480" caption="Kopi tubruk Sidikalang dari Medan di Kedai Telapak Bogor ini nikmat hingga ampasnya (Dokpri)"][/caption]
“Ada pertanyaan?”
“Jika tidak, silakan menikmati coffee break selama 15 menit.”
Kalimat itu lazim terdengar saat seseorang menghadiri diskusi dan presentasi di kantor atau saat pertemuan bisnis lainnya. Memang tidak hanya kopi yang disajikan. Ada pula teh dan suguhan makanan ringan lainnya. Biasanya sih, orang akan berlama-lama saat coffee break.Selain untuk makan dan minum, obrolan ringan juga pasti dilakukan. Lumayan kan bisa tambah rekanan dan kenalan. Syukur-syukur ada yang happy ending sampai jadi pasangan hehehehe….
Beberapa kali saya membuktikannya sendiri saat menyesap secangkir kopi di beberapa kesempatan coffee break. Suasana terasa lebih cair ketika harus menyapa orang-orang yang baru dikenal. Kalimat pembukanya bisa bermacam-macam. Mulai dari bertanya, selain kopi, minuman dan makanan lainnya apa yang sudah dicoba sehingga bisa direkomendasikan oleh sang lawan bicara. Setelah itu, percakapan bisa berlanjut dan melebar ke mana-mana. Pasti karena itulah, kopi sering disebut sebagai social lubricant atau minuman pergaulan.
Apakah lokasi coffee break harus selalu di gedung perkantoran atau jamuan bisnis di restoran? Sama sekali tidak. Menurut Wikipedia, kedai atau kafe kopi di Eropa, terutama di Paris Perancis dan London Inggris, sejak lama, terutama di abad ke-17 dan 18, menjadi tempat berkumpul para sosialita, ilmuwan, budayawan, sastrawan, dan masih banyak lagi kaum intelektual lainnya.
[caption id="attachment_419575" align="aligncenter" width="640" caption="Warung kopi atau warkop di Malabar Bogor, tempat kumpul mahasiswa Diploma IPB (Dokpri)"]
[/caption]
Di Indonesia, masyarakat tentu mengenal grup lawak legendaris yang sangat top di era 80-an hingga 90-an, Warkop DKI. Trio komedian yang terdiri atas (alm) Dono, (alm) Kasino, dan Indro tersebut pasti tahu, fungsi dan arti strategis warung kopi di Indonesia sehingga sampai memilih istilah ‘warkop’ sebagai nama grup mereka.
Di warung kopi atau warkop, seusai kesibukan masing-masing, semua orang bisa bicara tentang apa saja dengan kedudukan setara. Topik diskusi di warkop sangat luas, mulai dari yang paling serius hingga yang paling konyol. Ayah saya yang dulu saat mudanya pernah merasakan tugas poskamling (pos keamanan keliling) di sekitar komplek tempat tinggal kami – waktu itu masih belum ada satpam resmi perumahan – bercerita, “Wah, waktu sudahngumpul di warkop, enggak ada lagi warga yang sok kuasa. Semuanya sama-sama merasa senasib dan sepenanggungan.”
Itu pula cerita teman saya lama, Ani, saat kami berjumpa di Kedai Kopi Oey di Gedung Alumni IPB, Baranangsiang, Kota Bogor. Ani termasuk pencandu kopi sejati. Bebeda dengan saya yang tergolong kategori peminum kopi moderat. Jika ada, saya akan minum. Tapi, jika tidak ada pun, tidak mengapa.
[caption id="attachment_419576" align="aligncenter" width="512" caption="Dua orang pengunjung kedai ala budaya peranakan, Kopi Oey di Baranangsiang Bogor (Dokpri)"]
[/caption]
Sore itu, kami menyempatkan diri bertemu di kedai kopi selepas jam kantor. Sekalian beristirahat setelah mengajar dari pagi hingga sore, memang ada urusan lainnya yang akan kami diskusikan. Saya sempat mengusulkan tempat diskusi kami di kedai kopi multinasional yang sudah tersohor namanya sedunia dengan lambang warna hijaunya itu. Namun, Ani menolak. Katanya, “Kita coba saja kopi cita rasa internasional di kedai lokal.”
Kecintaan Ani kepada kopi ternyata bersifat genetis. Mengapa bisa begitu? Ayahnya ternyata penggemar berat kopi Liong selama lebih dari 20 tahun dan biasa dinikmati saat beristirahat di kantor serta di rumah. Kopi bubuk khas Bogor tersebut tidak hanya dinikmati ayah Ani berupa cairan kopinya, bahkan ampasnya ikut dihabiskan. Ani sendiri lebih menyukai kopi instant dengan varian rasa mocca dan cappuccino. Saat ayahnya – seperti juga selera saya - menyukai kopi hangat, Ani lebih memilih kopi dingin.
[caption id="attachment_419578" align="aligncenter" width="480" caption="Ki-Ka: Ijs Koffie Sisiliana dan Koffie Soesoe Indotjina Panas di Kedai Kopi Oey Bogor (Dokpri)"]
[/caption]
Kembali ke warkop, Ani berbagi kisah tentang warkop Bu Yoyoh yang terletak di sekitar rumahnya. Awalnya Bu Yoyoh hanya menjual makanan gorengan. Namun, sejak menyuguhkan minuman juga, terutama kopi, warungnya menjadi jauh lebih laris, terutama dari sore hingga malam hari. Kopi memang mempunyai daya magnet yang luar biasa, mulai dari cita rasanya, lalu secara aspek sosial, hingga tak terkecuali keuntungan ekonomi.
Saat di Kedai Kopi Oey yang bergaya klasik ala budaya peranakan di zaman Hindia-Belanda tersebut, saya memesan Koffie Soesoe Indotjina Panas. Ya, begitulah pengejaan kopi unggulan dari Vietnam yang direkomendasikan oleh staf kedai tersebut. Menurut staf Kopi Oey, kopi Robusta – jenis kopi Robusta di Tanggamus Lampung menjadi bahan baku kopi Nescafe yang diolah dengan standar internasional - biasanya disuguhkan dalam bentuk hangat karena aromanya yang lebih khas dan tajam. Sementara itu, kopi dingin banyak berasal dari jenis kopi Arabika.
[caption id="attachment_419579" align="aligncenter" width="512" caption="Staf Kedai Kopi Oey Bogor menjelaskan perbedaan penggunaan kopi Robusta dan Arabika (Dokpri)"]
[/caption]
Ani sendiri memilih Ijs Koffie Sisiliana. Bisa ditebak dari namanya, kopi yang dipesan Ani berupa kopi dingin dan dia bisa langsung menikmatinya setelah diantarkan. Sedangkan saya harus menunggu dulu hingga tetesan kopi hitam di poci mungil di atas gelas sudah memenuhi susu kental manis putih yang berada di dasar permukaan gelas.
Di ujung seberang meja kami, ada seorang pria muda (yang lumayan tampan sehingga sayang juga kalau sampai dilewatkan hahaha…..) yang memesan kopi Vietnam serupa pesanan saya. Ani menantang saya, “Berani enggak tanya-tanya tuh mas ganteng tentang kopi, Nis?” Tantangan diterima! Kalau tawaran wawancaranya ditolak, ya tinggal bilang minta maaf aja kan hihihi….
[caption id="attachment_419581" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Rendie, pecinta kopi bubuk bercita rasa lokal Nusantara (Dokpri)"]
[/caption]
Syukur Alhamdulillah, si mas tampan rupawan tersebut bersedia saya wawancarai (lebih tepatnya diganggu waktu kerjanya) tentang kopi. Mas Rendie bekerja sebagai legal staffdi salah satu perusahaan aviasi atau penerbangan. Waktu itu, dia sedang ada janji bertemu dengan rekan kerjanya dari Jakarta. Sambil menunggu di Kedai Kopi Oey, dia menyelesaikan kerjaannya yang harus dikirim via email sore itu juga.
Mas Rendie menuturkan, dia lebih menyukai kopi lokal yang berbentuk bubuk daripada kopi instant. Menurutnya, cita rasanya terasa lebih kuat dan aromanya khas. Tapi, tambahnya lagi dengan buru-buru, “Itu sih lebih karena selera pribadi aja ya Mbak. Kalau lagienggak ketemu kopi bubuk, kopi instant juga saya oke.” Kata saya dalam hati, “Kalau minum kopinya bareng orang sekeren Mas sih, kopi sepahit apapun terasa enak kok hehehe…..” #SalahFokusWawancara
Kopi bubuk dari Sidikalang Sumatera, Batam, dan Papua menjadi favorit pria pencinta bola tersebut. Di kantor, Mas Rendie bersama rekan-rekan kerjanya sering patungan membeli kopi bubuk lokal yang terdapat di penjuru Nusantara. Mereka menitip pembeliannya kepada rekan pilot dan pramugari atau pramugara yang sedang terbang ke suatu daerah.
Waktu ditanya, adakah coffee break di kantornya, jawabnya, “Meeting di kantor sayatuh selalu efisien, Mbak. Enggak ada yang namanya konsumsi khusus untuk rapat. Jadilahcoffee break itu selalu setelah meeting dengan membuat kopi di pantry. Itu pun kopinya kemudian langsung dibawa ke meja atau kubikel masing-masing dan langsung lanjut kerja lagi.”
[caption id="attachment_419582" align="aligncenter" width="560" caption="Mesin pembuat kopi dari Nescafe Dolce Gusto ini layak dimiliki setiap pantry di perkantoran (Foto: female.kompas.com)"]
[/caption]
Tambah Mas Rendie lagi, “Saya lebih sering minum kopi ketika di kantor dibanding di rumah. Mungkin ini karena sugesti kopi cukup efektif untuk menghilangkan kantuk jadi pasdiminum waktu kerja. Tahu sendiri kan Mbak, sebagian besar waktu pekerja itu dihabiskan di kantornya.”
Wah, ada bagusnya juga kalau di setiap kantor disediakan mesin pembuat kopi otomatis (coffee maker) yang praktis untuk para karyawan agar selalu produktif bekerja.Contohnya seperti mesin pembuat kopi yang diluncurkan oleh Nescafe sejak 2013 yaituNescafe Dolce Gusto Circolo dan Genio dan selanjutnya di tahun 2014, Nescafe Dolce Gusto Mini Me.
Nah, khasiat kopi sebagai penghilang kantuk ini turut pula diamini sahabat saya lainnya, Diana. Dirinya yang dulu berkuliah di Unila Lampung juga termasuk pecinta kopi.“Kopi tuh cocok banget diminum waktu aku perlu konsentrasi tinggi.” Dia lalu mengajak saya ke kedai kopi yang bertetangga dengan Kopi Oey, Kedai Telapak di samping terminal bus Damri di Baranangsiang Kota Bogor, Sabtu dua pekan lalu.
[caption id="attachment_419583" align="aligncenter" width="480" caption="Kedai Kopi Oey dan Telapak yang sama-sama terletak di komplek Gedung Alumni IPB Baranangsiang Bogor (Dokpri)"]
[/caption]
Siang itu, kami berdua baru saja menghadiri rapat sekaligus seminar bisnis di kampus tempat kami berdinas. Merasa ngantuk danperlu take a break (beristirahat) secepatnya tapi masih ada tugas tesis S2 miliknya yang menanti untuk diselesaikan, kami pun bergegas menikmati kopi tubruk Sidikalang yang hangat dan luar biasa harum serta nikmat tersebut.
Rahasia kelezatan Hot Black Coffee di Kedai Telapak itu ternyata karena langsung dibuat dengan menggiling biji kopinya saat ada yang memesan. Jadi, kopi bukan berupa bubuk, tapi masih berupa biji kopi. Menurut penuturan staf di Kedai Telapak Bogor, biji kopi Sidikalang yang masih segar itu mereka pesan setiap tiga minggu sekali dan langsung dikirimkan dari Medan Sumatera Utara. Pantas saja, sampai ampas kopi Sidikalang itu pun tetap terasa nikmat, bahkan lebih lezat dari ampas kopi Vietnam di Kedai Kopi Oey. Saya menjadi senang dan bangga setelah mengetahui sendiri bahwa kualitas kopi lokal pun tak kalah bersaing dengan kopi internasional.
[caption id="attachment_419584" align="aligncenter" width="512" caption="Kopi tubruk khas Sidikalang Medan di Kedai Telapak Bogor langsung diolah dari bijinya saat ada yang memesan (Dokpri)"]
[/caption]
Sekalipun penggemar kopi hangat, saya juga sesekali menikmati kopi dingin. Seingat saya, selama mengikuti coffee break, belum pernah sekalipun saya mendapati kopi dingin atau kopi yang diberi es. Mungkin suhu dingin ruangan yang ber-AC lebih cocok jika ditemani dengan secangkir kopi hangat daripada kopi dingin.
Tapi bukan berarti kopi dingin tidak bisa menyegarkan suasana. Satu waktu sepulang mengajar di hari yang sangat panas, saya sempatkan membeli kopi dingin di salah satu gerai waralaba makanan cepat saji. Kopi yang juga berisi jeli itu lalu saya bawa pulang untuk diminum di kamar kos. Tak lama kemudian, datanglah adik kelas saya yang ingin curhattentang tugas akhir kuliah diplomanya.
[caption id="attachment_419585" align="aligncenter" width="512" caption="Kopi dingin itu dinikmati bersama-sama, eh Doraemon cuma boleh melihat ya! Hehehe... (Dokpri)"]
[/caption]
Tak ada minuman selain air putih, kopi dingin itu pun kami habiskan berdua sembari berbagi pengalaman. Tak terasa, waktu satu setengah jam ternyata sudah berlalu. Kopi telah sukses membuat kami menikmati suasana dan waktu luang di sore itu sambil bersantai bersama.
“Lagi luang begini enaknya ngapain ya?”
“Santai begini, enaknya ngopi aja yuk.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H