[caption id="attachment_417655" align="aligncenter" width="512" caption="Kompasianer berfoto bersama di depan Klinik Konsultasi Perumahan PUPR di Turangga Bandung (Dokpri)"][/caption]
Kementerian PU layak menjadi tempat rujukan tepat bagi Kompasianer yang berniat membangun rumah.Teknologi PU dapat menjembatani antara impian dan permasalahan yang kerapkali dihadapi seseorang saat berniat mendirikan bangunan.Kesimpulan ini saya peroleh setelah menghadiri Nangkring Kompasiana dan PU sebagai salah satu rangkaian acara Kolokium Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) di Graha Wiksa Praniti di Bandung, Jawa Barat, Kamis 7 Mei 2015.
Acara yang bertempat di Jalan Turangga No. 5 -7 Kota Bandung ini dimoderatori oleh salah seorang admin Kompasiana yang selalu tersenyum cerah ceria, Wardah Fajri.Mbak Wawa – begitu panggilan akrabnya – ditemani oleh tiga orang pembicara sekaligus peneliti dari PU yaitu Pak Iwan, Pak Budiono, dan Pak Sarbidi.Sebelumnya, PU sudah pernah dua kali mengadakan Nangkring di Jakarta dengan Kompasianer.Kali ketiga inilah, Kompasianer di Bandung akhirnya dapat turut pula merasakan serunya acara off air Kompasiana dengan PU. Sebanyak 40 orang Kompasianer hadir di Nangkring tersebut berdasarkan data jumlah peserta dari daftar hadir Kompasianer yang dipegang oleh admin Kompasiana lainnya selain Mbak Wawa yang bertugas di sana: Mas Raja, Mas Fendi, dan Mbak Wida.
Tentu saja, mayoritas Kompasianer yang datang saat itu berasal dari Kota Bandung dan sekitarnya.Namun, sepengetahuan saya – karena sempat berkenalan dengan mereka selama berlangsungnya acara – sedikitnya ada empat Kompasianer dari luar Bandung yang juga meluangkan waktu untuk hadir.Selain saya dan Kompasianer Unggul Sagena serta Mbak Yenni dari Bogor, Pak Agus, seorang arsitek dari Solo juga menyempatkan diri menghadiri Nangkring PU di Kota Kembang.
[caption id="attachment_417658" align="aligncenter" width="512" caption="Pembicara dari PU (ki-ka): Pak Sarbidi, Pak Iwan, dan Pak Budiono serta Mbak Wawa dari Kompasiana (Dokpri)"]
[/caption]
Pak Iwan dari PU membuka acara dengan memaparkan Tri Tujuan Nawacita yang harus dicapai oleh PU selama tahun 2014 hingga 2019 yaitu 1) Membangun konektivitas infrastruktur di seluruh Indonesia, 2) Mendukung Ketahanan Pangan, dan 3) Membangun Permukiman Layak Huni Bagi Rakyat.Masih menurut Pak Iwan, sang peneliti nan menawan (menurut saya pribadi, beliau lumayan rupawan untuk ukuran seorang ilmuwan), teknologi yang dikembangkan PU umumnya bersifat lebih sederhana secara kecanggihan dan skalanya, namun memiliki banyak ragamnya. Jika dianalogikan dengan supermarket, teknologi PU mirip toko ritel kecil-kecilan yang banyak tersebar di masyarakat dan bukan seperti hypermarket yang hanya berada terpusat di satu lokasi pada satu daerah.Tujuan PU dalam mengembangkan teknologi jelas selalu diselaraskan dengan kondisi geografis serta sosial-ekonomi rakyat Indonesia yang sangat beragam dari Sabang hingga Merauke.
Nah, paparan kedua mengenai teknologi rumah dari PU inilah yang menjadi alasan utama saya datang ke Bandung.Saat masih kuliah S1 dulu, saya pernah mendengar istilah ‘perumahan dosen (perumdos).Banyak dosen senior yang masih sempat merasakan tinggal di perumahan dosen.Sayangnya, semakin ke sini, banyak pihak kampus (sepertinya) tidak lagi memprioritaskan pembangunan fasilitas perumdos untuk dosen baru yang masih muda-muda.Padahal, jika diukur antara gaji dan harga rumah, profesi pendidik dan pengajar - terutama dosen dan guru – belum termasuk kategori kalangan yang mampu membeli ataupun membangun rumah dengan mudahnya seperti membalikkan telapak tangan.
Awal tahun 2015 ini, saya mendengar berita bahwa kampus tempat saya mengajar, STEI Tazkia Bogor, merencanakan untuk membangun perumdos.Ide yang digagas oleh bapak rektor yang luar biasa visioner, M. Syafi’i Antonio tersebut kini diawali dengan survei lokasi yang tepat di daerah kabupaten Bogor.Selain lokasi perumdos, pastinya biaya pembangunan pembangunan perumdos juga akan menjadi pertimbangan selanjutnya yang utama.Oleh karena itu, teknologi Rumah Instan Sederhana dan Sehat (RISHA) dari PU bisa direkomendasikan untuk mengisi perumdos.
[caption id="attachment_417659" align="aligncenter" width="512" caption="Kompasianer mengunjungi lokasi pembuatan panel RISHA dari PUPR di Sumedang Jawa Barat (Dokpri)"]
[/caption]
Pak Budiono selaku konsultan RISHA dari PU memaparkan bahwa ada 3 kata kunci utama RISHA yaitu: 1) Biaya murah, 2) Mutu terjamin, dan 3) Waktu singkat.Biaya RISHA yang ramah kantong ini karena adanya aplikator panel RISHA yang per buahnya rata-rata hanya sekitar Rp. 200.000,-. RISHA hanya memerlukan tiga panel untuk membuat sebuah rumah dapat tegak dan kokoh berdiri. Jaminan mutu RISHA sudah terbukti dengan pembangunannya yang banyak dilakukan di daerah rawan gempa bumi dan tsunami seperti di pulau Sumatera.Selain di Kampung Deret Petogogan Jakarta yang peresmiannya dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, perusahaan perkebunan PT London Sumatera (LonSum) juga menggunakan RISHA sebagai bangunan mereka.
Sudah murah-meriah, kualitas teruji, RISHA juga hemat waktu dengan teknologinya yang bernama Instant Knockdown sehingga bisa dibongkar pasang oleh CUKUP tiga orang pekerja bangunan dalam waktu 24 jam.Luar biasa!RISHA sudah sepatutnya menjadi rumah percontohan nasional.Kompasianer juga mendapat tambahan info penting dari Pak Budiono tentang luas bangunan minimal untuk seseorang adalah 3 x 3 meter persegi.Jadi sebuah keluarga yang terdiri atas 4 orang yaitu ayah, ibu dan 2 anak idealnya tinggal di bangunan minimal seluas 36 meter persegi.
[caption id="attachment_417660" align="aligncenter" width="480" caption="Pak Sarbidi dari PU memaparkan pentingnya kehadiran sub-reservoir/sumur resapan di setiap rumah untuk mencegah banjir (Dokpri)"]
[/caption]
Selanjutnya pembicara ketiga dari PU yaitu Pak Sarbidi selaku pakar sanitasi air bersih memaparkan tentang pentingnya mendaur ulang air yang jatuh ke permukaan tanah.Hal tersebut untuk meminimalisir terjadinya banjir karena alih fungsi lahan yang kurang atau tidak memperhatikan lingkungan.Teknologi sub-reservoir berupa sumur resapan dari PU membuat air hujan dapat ditahan dan ditampung di bawah tanah sehingga tidak menggenang di jalanan (zero run-off).Teknologi sumur resapan PU tersebut juga mempunyai saringan untuk menyaring air sebelum masuk reservoir sehingga air yang ditampung akan bebas lumut dan jamur.
Pak Sarbidi juga menjelaskan bahwa air yang menggenang di jalanan tidak boleh lebih 10 cm dan harus kurang dari 2 jam.Para pembangun rumah juga wajib mengetahui bahwa mereka wajib mempertahankan jumlah air tanah yang sebelumnya sudah ada di lahan tersebut agar tidak terjadi genangan air di jalan sekitarnya.Umumnya air yang tadinya terkandung di suatu daerah akan berkurang setelah bangunan didirikan karena air sulit menembus tanah lagi dan terhalang bangunan.Selain hunian yang layak dengan harga terjangkau, faktor kelestarian lingkungan dan konservasi air ternyata juga harus selalu diperhatikan serta dipertahankan saat seseorang akan membangun rumah. Maka itulah, Kementerian PU dengan teknologi permukiman berupa RISHA dan sumur resapannya sangat direkomendasikan penggunaannya di masyarakat luas. Yuk, jangan ragu menuju PU dulu sebelum memiliki rumah baru.Salam Kompasiana.
[caption id="attachment_417661" align="aligncenter" width="512" caption="Dengan teknologi RISHA dari PU, rumah kini bukan lagi barang mewah (Dokpri)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H