Lihat ke Halaman Asli

Khairunisa Maslichul

TERVERIFIKASI

Profesional

Bersiap Kuliah? Baca Dulu David vs Goliath

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1431318381102729051

[caption id="attachment_416624" align="aligncenter" width="360" caption="Mau biasa saja di kampus kelas A atau bersinar luar biasa di kampus kualitas B? (Photo credit: www.greetbunnens.com)"][/caption]

Kuliah sejatinya bukan sekedar pindah sekolah. Bagi yang sudah tak sabar ingin segera menyandang status mahasiswa, ada baiknya berpikir sejenak. Silakan jujur terlebih dahulu pada diri sendiri: Rela (mati-matian) kuliah demi gengsi atau memang ingin mencetak prestasi?

Akhir pekan kemarin, Sabtu 9 Mei 2015, saya menghabiskan waktu (sekaligus menikmati free lunch hihihi)di salah satu kafe kopi di Kota Bogor dengan rekan kerja sekaligus sahabat saya sejak tahun 2009, Rani. Saat ini, Rani sedang menyelesaikan tugas akhirnya (tesis S2) di salah universitas swasta di Jakarta pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sambil mengisi kuesioner darinya tentang cara saya memberi kuliah Bahasa Inggris di kampus, dia juga bercerita tentang dinamika kuliah pasca sarjana. Kesimpulan diskusi kami dari Sabtu siang hingga sore hari kemarin , kuliah itu (mulai dari Diploma, Sarjana, hingga pasca sarjana) memang harus punya cara, tujuan dan sasaran yang jelas. Kuliahnya boleh berliku, tapi target berupa lulus kuliah harus tercapai.

Malamnya, sahabat saya lainnya selama hampir setahun terakhir ini, seorang mahasiswi S2 Statistika IPB, Siti, meminjamkan buku terbaru karya Malcolm Gladwell, David & Goliath, Underdogs, Misfits and the Art of Battling Giants dari Penguin Books. Ternyata, diskusi saya sebelumnya dengan Rani tentang suka-duka menjalani kuliah dibahas pula di buku dari jurnalis The New Yorker itu, wow! Keputusan spontan (intuitif) saya untuk meminjam buku itu – awalnya tertarik lebih karena judulnya tanpa tahu isi pastinya – ternyata tepat sekali#ListenToYourHeart

Jadilah saya di hari Minggu, 10 Mei 2015, menikmati waktu dengan membaca setengah isi buku yang termasuk The No.1 International Bestseller tersebut. Pernah mendengar istilahIkan besar di kolam kecil vs Ikan kecil di kolam besar? Ungkapan itu ternyata wajib diingat bagi siapapun yang hendak berkuliah. Bab 3 di buku David vs Goliath itu berjudulCaroline Sacks: “If I’d gone to The University of MarylandI’d still be in science”, sukses membuka pikiran saya tentang strategi kuliah.

Ada Kompasianer yang merasa salah jurusan kuliah? Atau mungkin malah salah masuk universitas? Bahkan menyesal telah memilih kuliah? Bagaimana rasanya? Sekalipun sudah berlalu, saya yakin, bagi yang (pernah) merasa salah kuliah, sakitnya tuh (masih) di sini#PengalamanPribadi

Bab 3 buku itu bercerita tentang Caroline Sacks (bukan nama sebenarnya) yang terpaksa say goodbye kepada jurusan sains (IPA) karena tidak tahan menghadapi tekanan kuliah di universitasnya. Apakah Caroline mahasiswa yang pemalas? Sama sekali bukan. Mungkin dia tidak menyukai sains sebenarnya? Sebaliknya. Sejak masih SD, dia sudah bercita-cita menjadi seorang ilmuwan atau dokter hewan. Atau… jangan-jangan dia mahasiswa yang kurang pandai? Dia diterima di Brown University, salah satu universitas paling bergengsi di Amerika Serikat yang termasuk The Ivy League. Brown, Harvard, Yale, MIT, dan Stanford di negara Paman Sam setipe dengan UI, UGM, UNAIR, ITB, dan IPB di Indonesia. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?

Saya bisa (malah sangat) memahami permasalahan yang dihadapi Caroline. Selain di Brown University, dia juga diterima di The University of Maryland. Kampus yang (cukup) bagus di AS, tapi memang tidak termasuk anggota The Ivy League. Kemungkinan besar, Caroline akan bertahan, bahkan bersinar jika dia memilih kuliah bukandi pilihan pertamanya. Yup! Secara gengsi, The University of Maryland memang tidak semengkilap Brown UniversityTapi, apakah itu berarti kampus pilihan kedua tidak menjamin prospek masa depan yang menjanjikan? Mari kita cermati lebih teliti lagi.

Saat kuliah S1 dulu, Alhamdulillah saya juga diterima di 2 PTN. Satu di Jawa Barat dan satu lagi di Jakarta. Tapi, saya dulu memilih PTN ‘kelas A’ daripada ‘kelas B’. Pertimbangannya, selain ingin bisa kuliah plus jalan-jalan di luar kota dengan udara sejuk – yang semakin langka di Jakarta – juga karena faktor gengsi.

Menurut saya waktu itu, alumni PTN di ‘kelas A’ bisa bekerja lebih luas, termasuk di industri pangan (food industry) seperti yang sebelumnya saya cita-citakan. Sementara itu, dengan pikiran naïf ala lulusan SMU, saya menganggap lulusan alumni di PTN ‘kelas B’ peluang kerjanya lebih terbatas karena kalah bersaing.

Nasib saya (sedikit) lebih beruntung dibanding Caroline yang harus sampai banting jurusan kuliah saat masih S1. Syukur Alhamdulillah, saya berhasil lulus kuliah tepat waktu tanpa harus pindah jurusan. Tapi, dengan pengorbanan berupa nilai kuliah yang menurut saya pribadi termasuk nilai ‘S3’: Sangat Standar Sekali. Pengorbanan serupa mungkin saja akan terhindari jika dulu saya lebih memilih kuliah di PTN ‘kelas B’. Rani memilih kuliah S2 di kampus swasta karena ogah merasakan lagi kerasnya suasana kuliah di kampus negeri seperti saat dia S1 dulu. IPK S2nya sangat bagus. “Kompensasi IPK ala kadarnya waktu aku S1 dulu hehehehe….” ujarnya santai.

[caption id="attachment_416625" align="aligncenter" width="229" caption="Jika mau kuliah, ada baiknya baca buku David vs Goliath (Photo credit: www.penguin.com.au)"]

1431318579180623878

[/caption]

Faktor tekanan materi kuliah – terutama di jurusan teknik dan IPA – di kampus ‘kelas A’ memang luar biasa hebat. Sekalipun sudah jungkir-balik belajar, mendapat nilai C saja, saya sudah langsung sujud syukur. Prinsip saya waktu masih S1 dulu tentang nilai kuliah: Yang penting lulus! Caroline, sang bintang SMU,yang bolak-balik mendapat nilai A saat SMU langsung shocked saat mendapat nilai B minus pertamanya di kampus. Itu pun nilai hasil mengulang kimia di tahun kedua bersama mahasiswa baru.

Well, untuk kuliah mengulang, lagi-lagi saya harus bersyukur tidak pernah mengalaminya di S1 dulu. Namun, saya pernah mendapat nilai belasan (betul sekali, kurang dari 20 poin!) untuk mata kuliah Kalkulus saat ujian tengah semester! Jadilah saya ‘balas dendam’ di ujian akhir semester dengan meraih nilai hampir 100. Targetnya yang penting lulus Kalkulus di tahun pertama kuliah. Jadi nilai C untuk Kalkulus pun sudah membuat saya luar biasa gembira. Memang seseorang harus selalu mau belajar dari kegagalannya sendiri maupun orang lain, setuju?

Kedua, suasana kuliah yang sangat kental dan penuh persaingan di kampus kualitas A.Welcome to the world of the super ambitious students! Sisi baiknya, baik saya maupun Caroline sama-sama termotivasi untuk belajar lebih giat karena dikelilingi oleh orang-orang terbaik. Sisi lemahnya – ingat, setiap koin pasti mempunyai dua sisi – hanya sedikit dari mahasiswa ambisius yang luar biasa pintar sekaligus cerdas tersebut yang mau berbaik hati dengan meluangkan waktunya untuk belajar bersama. Apalagi untuk bersabar diri mengajari para mahasiswa yang otaknya tidak secemerlang, apalagi sejenius mereka, termasuk saya. Umumnya lebih menikmati belajar dengan dirinya sendiri. Padahal, setelah menjadi dosen dan Kompasianer, saya semakin sadar, bahwa dengan berbagi dan berdiskusi ilmu bersama orang lain, ilmu itu malah akan bertambah #ThePowerofTeamwork

Solusinya, saat S1 dulu, saya banyak mengambil tutorial mata kuliah dengan kakak kelas atau alumni di luar jam kuliah resmi. Langkah tersebut ternyata cukup membantu.Alhasil saya harus merelakan sebagian besar uang jajan saya untuk membayar sesi tutorial ekstra tersebut. Tapi, tak apalah. Urusan hura-hura ala mahasiswa selalu saya pikirkan setelah lulus mata kuliah. Malah lebih seringnya sudah tidak terpikirkan sama sekali hahahaha….

Namun, bukan berarti tidak ada hal baik yang saya peroleh dari kampus kelas A. Saya sangat terbantu dengan smart streets dan social skills yang saya peroleh selama kuliah S1 dulu dengan ikut berorganisasi. Terbukti bahwa hal itulah yang terbukti efektif dan efisien menolong saya untuk tetap bisa survive di dunia kerja selama ini.

Saat menyadari bahwa saya bisa lelah lahir-batin (burn-out) jika terus-terusan fokus kuliah alias mahasiswa ‘SO’ (study oriented), saya memutuskan untuk juga ikut organisasi kemahasiswaan seperti BEM dan UKM. Agar tidak pontang-panting antara kuliah dan kegiatan mahasiswa, saya hanya menjadi pengurus di satu organisasi mahasiswa setiap tahunnya. Saya juga dari awal memberitahukan kepada ketua organisasi mahasiswa yang saya ikuti, bahwa saya tidak mau membolos kuliah karena kegiatan mahasiswa. Selain itu, saya juga tidak pernah mengikuti rapat organisasi mahasiswa lebih dari pukul 20.00. Jam malam kos saya waktu itu jam sembilan malam. Hasilnya, selama dikomunikasikan baik-baik, kegiatan organisasi saya tidak pernah mengganggu kuliah. Hubungan dengan sesama (mantan) aktivis mahasiswa dulu juga tetap baik hingga kini, Alhamdulillah.

Saya selalu bercita-cita untuk bisa kuliah pasca sarjana dengan memperoleh beasiswa ke luar negeri. Kali ini, tentu belajar dari semua pengalaman (juga kesalahan) saat memilih dan menjalani S1 dulu serta setelah membaca David vs Goliath dari Malcolm Gladwell, saya berharap mampu lebih tenang saat menjalaninya nanti. Terutama karena saya bermimpi dapat melaluinya bersama keluarga kecil saya kelak, Amin #HappyFamily

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline