Lihat ke Halaman Asli

Khairunisa Maslichul

TERVERIFIKASI

Profesional

Mewujudkan Akses Internet yang Menginspirasi Kemajuan Bersama Indosat

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419437126438364163

[caption id="attachment_385805" align="aligncenter" width="300" caption="Seorang anak SD sedang membeli pulsa di kios IM3 daerah Malabar Kota Bogor (Dokpri)"][/caption]

Jaringan internet biasanya mudah dijumpai di daerah kota.Kompasianer yang tinggal di perkotaan pasti mengamini pernyataan tersebut.Tapi, bagaimana jika internet menjadi langka dan asing sekalipun di kota? Atau bagaimana seandainya internet sulit diakses karena faktor geografis?

Seorang supir angkot di Bogor menyadarkan saya bahwa internet masih menjadi barang istimewa maupun mahal di Indonesia.Percakapan kami diawali saat saya duduk di bangku depan angkot menuju kampus STEI Tazkia di Dramaga, Bogor, tempat saya mengajar selama dua tahun belakangan ini.Sepanjang jalan menuju kampus, saya luangkan waktu dengan membaca materi kuliah yang akan diajarkan pagi itu.

Setelah 10 menit berlalu, pak supir mulai bertanya kepada saya.Ketika saya menengok ke belakang, bangku penumpang sudah kosong.Jadi hanya saya penumpang yang tersisa di angkot.

“Mau ke kampus, Teh?” tanyanya ramah.Teteh adalah sebutan untuk ‘Mbak’ di daerah Jawa Barat.

“Oh iya, Pak.”Buku teks yang sedang saya baca lalu saya tutup.

“Teteh masih kuliah sekarang?” tanyanya lagi.

Sebelum saya jawab, bapak supir angkot itu meneruskan lagi kalimatnya, “Jangan-jangan Teteh ini sudah lulus? Dosen ya Teh?”Saya hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Wah, enak Teteh bisa kuliah.Jadi bisa kerja kantoran.Bukan cuma jadi supir seperti saya.”Saya tersenyum kecil sekaligus bersyukur setelah mendengar komentarnya.

“Anak Bapak sudah ada yang kuliah sekarang?” saya balas bertanya.Sopir angkot itu merenung sejenak sebelum menjawab.Lalu, dia berkata lagi dengan tatapan menerawang, “Jangankan kuliah, Teh.Lulus SMU juga belum tentu bisa.”

Kali ini, giliran saya yang jadi tak enak hati.Seolah bisa membaca pikiran saya, dia berkata, “Saya mah orang miskin, Teh.Mau bayar sekolah pakai apa?”

Spontan saya teringat tentang beasiswa bagi siswa tidak mampu.“Anak dari keluarga tidak mampu bisa mengajukan beasiswa, Pak,” saran saya untuk membesarkan hatinya.

Nada suaranya kembali bersemangat ketika mendengar kata ‘beasiswa’.“Oh, yang sekolah gratis itu bukan?Saya bisa tanya ke mana tentang itu?”

“Betul, Pak.Informasinya bisa dicari di internet kok, Pak.Banyak info beasiswa di internet, mulai dari di dalam sampai luar negeri,” ujar saya dengan antusias.Saya senang dengan semangat pak supir itu untuk mencari info beasiswa pendidikan bagi buah hatinya.Tingkat pendidikan yang lebih baik tentunya akan memberikan kemajuan bagi seseorang secara sosial maupun ekonomi.

Lagi-lagi harapan saya agak meredup saat pak supir dengan polos membalas perkataan saya, “Wah, harus lewat internet? Aduh, enggak ngerti internet, Teh.Maklum, supir bisanya nyetir aja.”

Jujur, saat itu saya kehabisan kata.Harap maklum, supir itu tinggal di daerah yang sudah terjangkau oleh listrik.Rute angkot yang dilaluinya tiap hari pun melewati daerah kabupaten dan kotamadya di Bogor yang sudah cukup maju dengan adanya sekolah maupun kampus.

Seolah bisa membaca pikiran saya, sang supir angkot berujar kembali dengan tanpa beban, “Setahu saya, internet itu untuk orang pintar dan berduit.Lha saya bukan dua-duanya.”Saya hanya bisa menarik nafas setelahnya.

Namun, saya tak mau kehilangan momen penting waktu itu.Sekalipun pak supir masih buta internet, setidaknya dia masih bisa mengupayakan cara lain - selain browsing di internet yang masih di luar jangkauannya – untuk memperoleh info beasiswa pendidikan.Saya sampaikan pula kepadanya, dia bisa bertanya kepada pihak sekolah tentang beasiswa.Sebagai tambahan, saya sarankan juga dirinya untuk mengurus keterangan keluarga kurang atau tidak mampu dari pihak kelurahan sebelum mengajukan beasiswa.

“Terima kasih atuh untuk infonya, Teh.Nanti akan saya coba urus,” katanya sebelum saya turun dari angkot.“Semoga infonya bermanfaat ya, Pak. Amin,” balas saya.Setelah turun dari angkot, saya berharap dan berdoa pula agar pak supir tersebut mulai tertarik untuk belajar menggunakan internet.

Kejadian yang sepintas terlihat sederhana dengan pak supir angkot itu kemudian menyadarkan saya bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang belum sadar benar tentang arti pentingnya internet bagi kemajuan suatu masyarakat, termasuk di bidang pendidikan.Memang tak sedikit pula yang bersikap sinis dengan pengaruh buruk internet terhadap anak-anak, terutama yang berkaitan dengan materi pornografi dan kekerasan.Tapi, bukankah internet itu tak ubahnya pisau atau pedang yang bermata ganda?Jika pemakainya bisa bijak mengoptimalkan pemakaiannya, tentu manfaatnya akan jauh lebih besar.

Hal itulah yang sekarang sedang dirasakan adik saya, Akhmad Mustafa.Tofa, nama panggilannya di rumah, kini sedang menjadi salah seorang guru dalam program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) mulai Agustus 2014 lalu pada SMPN 2 di Desa Taulumbis, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara), hingga Juli 2015 mendatang.Saat masih tinggal di rumah kami yang notabene berada di kawasan Jabodetabek, dia tak pernah kesulitan saat harus mengakses internet. Kadang saya bahkan dibuat gemas dengan hobinya bermain online games karena dia bisa sampai lupa waktu.Tak jarang, dia malah sibuk ber-sosial media terlebih dahulu sebelum mencari bahan referensi untuknya mengajar di beberapa sekolah swasta tempatnya dulu berprofesi sebagai guru di Jakarta sebelum berangkat ke Kalimantan.Saya sampai harus bolak-balik menegurnya seperti seorang satpam.

[caption id="attachment_385808" align="aligncenter" width="300" caption="Surat untuk Ayah via JNE dari guru SM3T di Nunukan Kalimantan Utara ke Tangerang (Dok Akhmad Mustafa - SM3T)"]

14194373501407259317

[/caption]

Namun, keadaan berubah 180 derajat saat dia merasakan sendiri masih belum adanya akses internet maupun sinyal telepon seluler di Desa Tau Lumbis Nunukan.Saya dan orang tua saya hanya bisa berkomunikasi via surat dan paket yang kami kirim melalui jasa kurir JNE.Padahal menurut Tofa di akun Facebook miliknya, daerahnya di Kaltara saat ini merupakan salah satu medan pertempuran antara Indonesia dengan Malaysia pada masa Dwikora Presiden Soekarno di awal tahun 60-an, tapi hingga kini masih minim listrik, juga bangunan dari pemerintah, apalagi sinyal komunikasi, maupun akses darat. Kenapa bisa begitu?

Awal Desember 2014 hingga awal Januari 2015, Tofa atau Mus – sapaan akrabnya sebagai guru SM3T – berkesempatan liburan Natal dan Tahun Baru sehingga dia bisa ‘turun ke bawah’ setelah dari awal September hingga akhir November berada ‘di atas’.Itu adalah istilah untuk para guru di Desa Tau Lumbis yang akan ke Kecamatan Lumbis, tempat mereka masih bisa terhubung dengan akses listrik, HP, dan internet yang (sedikit) lebih baik daripada saat mereka ‘di atas’ atau di Desa Tau Lumbis, Nunukan, Kaltara.

[caption id="attachment_385809" align="aligncenter" width="300" caption="Tofa mengenalkan fungsi laptop kepada muridnya di Desa Tau Lumbis Nunukan Kaltara (Dok Akhmad Mustafa - SM3T)"]

1419437571601724016

[/caption]

Saat di bawah itu jugalah, Tofa memberikan testimoni sebagai rekam jejak pengabdian generasi SM3T di seluruh Indonesia yang direkam oleh pihak SM3T dan diunggah ke Youtube serta disebarluaskan melalui akun Facebook SM-3T Cause dan Twitter @SM3TRI dengan judul “Surat untuk Ayah” pada hari Senin 22 Desember 2014.Air mata haru tak kuasa saya bendung sekaligus bangga saat menonton rekaman video tersebut.

[caption id="attachment_385812" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana kelas di SMPN 2 Desa Tau Lumbis Nunukan Kaltara tempat Tole mengajar sebagai guru SM3T (Dok Akhmad Mustafa)"]

14194378401638456188

[/caption]

Sebagai seorang kakak yang juga berprofesi sebagai pengajar sekaligus pendidik seperti Tofa, saya dapat merasakan benar pentingnya akses internet untuk kemajuan pendidikan.Bahkan zaman sekarang pun anak SD, terutama di daerah kota-kota besar, sudah diwajibkan mengerjakan PR yang jawabannya memang harus dicari melalui internet.Lalu, bagaimana dengan para murid yang orangtuanya secara ekonomi sulit mengakses internet, seperti kisah yang saya alami dengan bapak supir angkot di Bogor baru-baru ini? Atau kondisi yang lebih parah dengan tidak ada akses listrik apalagi internet seperti yang dialami Tofa sebagai seorang guru di Desa Tau Lumbis Nunukan Kalimantan Utara?

[caption id="attachment_385815" align="aligncenter" width="300" caption="Akhmad Mustafa (Tofa) dan rekannya sesama guru SM3T di Nunukan Kaltara, Ato Hariyanto, di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia (Dok Akhmad Mustafa)"]

1419438154451848169

[/caption]

Oleh karena itu, melalui blog competition kerjasama antara Kompasiana dengan Indosat ini, saya ingin menggugah kesadaran semua pihak, terutama para pendidik dan pengajar tentang arti strategis dan pentingnya akses internet untuk masa depan Indonesia yang lebih baik di bidang pendidikan.Akses internet pulalah yang membuat testimoni para guru program SM3T di seluruh Indonesia, termasuk Tofa, tentang kondisi sesungguhnya di Indonesia, terutama bidang pendidikan, dapat disebarluaskan dan disosialisasikan tidak hanya di dalam negeri, bahkan hingga ke luar negeri.

[caption id="attachment_385816" align="aligncenter" width="300" caption="Warung UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di daerah Malabar Bogor yang didukung oleh Indosat (Dokpri)"]

14194385551476677837

[/caption]

Akses internet jelas sangat bermanfaat pada skala yang makro. Namun, untuk skala mikro, bahkan info yang terlihat sepele, seperti info beasiswa untuk murid dari keluarga kurang mampu pun, pasti tak kalah berartinya.Saya percaya bahwa Indosat melalui akses internetnya dapat membantu mewujudkan mimpi rakyat Indonesia yang menginspirasi kemajuan serta kesejahteraan bangsa dan negara seperti yang dicita-citakan oleh para pahlawan pendiri Nusantara kita yang tercinta ini.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline