[caption id="attachment_393720" align="aligncenter" width="350" caption="Dua kata untuk office politics: Pelaku dan korban (Gambar: http://www.lifehack.org/articles/work/7-habits-to-win-in-office-politics.html)"][/caption]
Politik kantor (office politics) bukan hanya dimonopoli elite politik dan lembaga negara lainnya. Semua kantor, dari yang besar sampai kecil, kantor pemerintahan hingga perusahaan swasta, pasti memiliki politik kantor di dalamnya. Bagi yang sudah bekerja pasti pernah merasakan dinamika politik kantor sambil berkomentar dalam hati: “Politik kantor itu mirip angin. Tidak terlihat wujudnya, tapi kapan pun harus siap terkena hembusannya.”Untuk yang baru bekerja, mungkin masih bertanya-tanya, “Politik kantor itu seperti apa sih rupanya?” Sementara itu, yang belum bekerja bisa jadi akan berpikiran, “Kalau bukan politisi, kenapa harus berpolitik di kantor?”
Universitas di belahan dunia mana pun jelas tidak ada yang (secara eksplisit) mengajarkan mata kuliah ‘Politik Kantor’. Mungkin yang bisa sedikit membahasnya dan cukup bersinggungan dengannya adalah mata kuliah manajemen. Ilmu komunikasi dan psikologi juga bisa dimasukkan.
Namun, jika seseorang sudah mendapat nilai A di mata kuliah manajemen, psikologi, maupun komunikasi, akankah di dalam kehidupan nyata, dia akan mampu melewati ‘ujian’ politik kantor yang sesungguhnya dengan prima? Untuk itu, siapa pun tidak akan ada yang pernah yakin 100 persen hingga dirinya telah mengalaminya sendiri.
Pengalaman saya sendiri di dunia kerja akhirnya membuat saya menyimpulkan bahwa ada dua jenis kategori dalam politik kantor: pelaku dan korban. Pelaku tidak harus selalu yang memiliki posisi atasan. Bawahan pun bisa menjadi pelopor politik kantor.
Politik kantor, tidak untuk diikuti tapi juga tidak bisa dijauhi (https://shashankmalviya.wordpress.com)
Begitu pula dengan korban dalam politik kantor. Pimpinan dan karyawan sama-sama tidak ada yang kebal dari peran sebagai korban dalam drama politik kantor. Kalau sudah begitu, sekarang pilihannya tinggal dua juga: Mau mengikuti atau menjauhi politik kantor?
Hingga kini, saya sudah merasakan bekerja di tiga tempat yang berbeda. Dan di ketiga tempat tersebut, saya selalu mendapati adanya politik kantor. Di tempat saya bekerja yang pertama kali, saya menjadi korban politik kantor. Di tempat kedua, saya menjadi (aheem!) keduanya: Korban sekaligus pelaku. Di tempat ketiga? Bisakah kini saya disebut sebagai mediator?
Practices make perfect. Ya, pengalaman mendewasakan saya dalam menghadapi politik kantor. Saya pernah berada di posisi seorang idealis yang masih naif dalam membaca situasi dan kondisi di kantor. Wajar saja jika akhirnya saya menjadi korban politik kantor. Setelah jera dan trauma dengan idealisme saya sendiri, saya sempat berubah haluan menjadi oportunis saat bekerja. Intinya, saat itu, saya jadi paham benar dengan adagium dalam dunia politik: “Tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan abadi.”
Namun, setelah merasakan keduanya, idealis dan oportunis, saya kemudian mendapati keduanya sama-sama tidak berkontribusi positif dalam hidup saya. Padahal, saya sangat menyukai proses pembuatan solusi (solution-making) dalam masalah apa pun, termasuk dalam politik kantor.
Belajar dari pengalaman sebagai pelaku dan juga korban politik kantor, saya akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama. Saya kini tidak lagi tertarik untuk terseret-seret arus politik kantor sekalipun menguntungkan. Meskipun begitu, saya juga tidak menjauh dan tutup mata sepenuhnya dari politik kantor yang ada. Saya harus tetap punya prinsip sendiri dalam menghadapi politik kantor. Istilah senior saya dulu di organisasi mahasiswa: Berbaur tetapi tidak lebur.
Baru-baru ini saya baru dikejutkan dengan terjadinya politik kantor di tempat saya mengajar. Seperti biasa, dalam politik kantor selalu ada dua kubu yang saling berlawanan. Saya sempat bingung juga karena sejumlah kawan baik saya sama-sama ada di masing-masing kubu.
Berbekal sedikit ilmu secara teoritis dan pengalaman hidup yang masih singkat ini, dengan niat baik seraya mengucap Bismillah, saya memilih peran sebagai penengah kali ini. Setelah saya cermati, umumnya politik kantor berakar dari adanya perbedaan sudut pandang dan juga kepentingan masing-masing pihak. Sekalipun demikian,pihak yang berseteru dalam politik kantor (juga negara) biasanya memiliki tujuan yang sama. #HidupTimIndependen
Lega dan bahagia rasanya setelah saya bisa berperan sebagai mediator dalam politik kantor yang belum lama ini saya jumpai, Alhamdulillah. Sebagai non-partisan, saya jadi bisa lebih memahami dan leluasa berkomunikasi kepada dua pihak yang berseberangan. Saya tegaskan dan sampaikan kepada kedua pihak, semuanya, termasuk saya, harus menjadi pembuat solusi (solution maker) dan bukannya malah menambah sensasi.
Kisruh politik kantor itu reda juga di awal bulan ini, syukurlah. Meskipun secara pribadi, pihak yang saling beroposisi itu memang sulit untuk berdekatan, setidaknya mereka kembali mampu bekerja sama dengan profesional. Saya pun akhirnya bertambah sadar, politik kantor itu memang sebaiknya tidak diikuti tapi juga bukan berarti harus dijauhi. Ikuti saja kata hati yang suci sesuai nurani demi tercapainya solusi dan rekonsiliasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H