Salah seorang mahasiswa, yang artinya ia adalah orang yang sudah boleh dianggap remaja dewasa, menyapa saya dengan ramah di ruang twiter. Ia meminta pendapat saya, yang lebih tepatnya mungkin berkeluh kesah, tentang cara mengajar seorang dosen yang harus dijumpainya setiap minggu selama beberapa bulan terakhir ini. Mahasiswa saya ini memiliki pribadi yang sopan, iapun seorang pembelajar yang rajin dan senantiasa menunjukkan hasil belajar yang membuat guru-gurunya bisa merasa lega.
Dengan mention nama saya, ia berkata bahwa ia adalah seorang pembelajar tipe visual dan kinestetik, maka dosen yang lebih suka berbicara atau ceramah seringkali membuatnya merasa jenuh dan mengantuk. “Setahu saya,” tulisnya sopan, “seorang guru/dosen kan harus bisa menfasilitasi semua gaya belajar ya Bu.” Gaya belajar yang dimaksudkan mahasiswa itu adalah gaya belajar visual, seperti dirinya yang mementingkan perpaduan gambar, tulisan, warna, grafik dan sebagainya; gaya belajar kinestetik yang melibatkan pergerakan/mobilitas; dan juga auditori seperti dosen yang dimaksudkannya: belajar melalui mendengarkan. Dan menurut mahasiswa saya tersebut, ia sangat kesulitan belajar hanya dengan mendengarkan.
Saya tersenyum membaca curhat mahasiswa ini. Bukan pertama kalinya saya mendengar, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara yang sopan seperti ini maupun yang kasar, keluhan tentang metode ceramah yang dianggap membuat mahasiswa mengantuk. Tentu keluhan yang disampaikan dengan cara yang baik seperti ini saya tanggapi, sementara umpatan dan sindiran lebih suka saya diamkan saja dulu karena saya rasa mereka yang mengumpat bukanlah orang-orang yang sedang ingin belajar, semata-mata mereka hanya ingin didengar.
Ada dua poin yang saya sampaikan sebagai respon saya terhadap curhat tersebut. Pertama, saya usulkan agar ia sampaikan masalahnya dengan sopan kepada dosen yang dimaksudnya. Menurut saya, mungkin saja dosen tersebut lupa bahwa setiap orang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Sangat mungkin dosen itu adalah seorang auditori, sehingga ia beranggapan bahwa metode ceramah adalah cara yang baik, sebab berdasarkan pengalamannya ketika ia berada di posisi mahasiswa, mungkin tidak ada masalah untuknya duduk diam dan mendengarkan. Jadi, menurut saya, apabila mahasiswa tersebut bisa menyampaikan keluh kesahnya dengan efektif, maka ia dapat membantu dosen tersebut untuk menjadi guru yang lebih baik.
Poin kedua yang saya sampaikan padanya adalah pentingnya untuk menyadari posisinya sebagai pembelajar yang sudah dewasa.
Bukan bermaksud membela kolega dosen, tetapi hingga hari ini saya selalu percaya bahwa dosen-dosen di kampus kecil kami tidak lain adalah pembelajar yang tekun dan mereka juga adalah guru-guru yang berambisi untuk mengajar secara efektif, sehingga tidak mungkin mereka mendisain pembelajarannya secara asal-asalan. Tetapi, mungkin saja kami terlewat mengajarkan sesuatu yang penting kepada mahasiswa kami: bahwa mereka adalah pembelajar dewasa, bukan anak-anak lagi.
Saya tuliskan kepada mahasiswa itu bahwa sebagai pembelajar dewasa, ia selalu dapat memilih bagaimana ia merespon situasi belajar yang kurang nyaman untuknya. Beruntunglah ia karena mampu mendefinisikan dirinya sebagai pembelajar visual, sehingga saya pun dapat memberikan saran yang relevan, kira-kira begini bunyinya (tentu tidak persis dengan apa yang saya tulis di twit mengingat di sana saya hanya punya ruang untuk 140 karakter):
“sebagai mahasiswa yang sudah dewasa, kamu bisa menciptakan sendiri suasana belajar sesuai gayamu. Misalnya ketika dosen itu ceramah, kamu buat mind map di bukumu dengan pulpen warna-warni atau dengan gambar-gambar…”
saya juga menekankan pentingnya menjadi mahasiswa yang kreatif, bukan mahasiswa yang terus-terusan mengharapkan kreativitas dosennya.
Mahasiswa sayapun menanggapi saran tersebut dengan reflektif, ia menyadari bahwa sebagai pembelajar dewasa, tidak tepat apabila proses belajarnya selalu bergantung pada dosennya, bukan pada dirinya sendiri. Saya senang sekali dapat membantunya menyadari bahwa bukan saja sebagai calon guru, tetapi juga sebagai orang dewasa yang ingin belajar sepanjang hayat, ia perlu melatih dirinya untuk selalu mencari strategi agar belajar; sehingga dalam kondisi yang kurang menyenangkan sekalipun, proses belajar dapat berjalan dengan baik.
Kita tidak selalu bisa memilih dan mendapatkan guru yang efektif, tetapi bukan artinya kita tidak dapat belajar dengan efektif, bukan?
Pertanyaan mahasiswa, jawaban saya, dan respon baliknya adalah suatu titik yang penting bagi saya sebagai dosen untuk berkaca pada praktik mengajar yang saya lakukan. Setiap minggu saya selalu berfikir dan mencari inspirasi tentang bagaimana saya akan beraksi dalam kelas dan menjadi guru yang kreatif dan insipratif; dan mungkin minggu ini dan minggu-minggu selanjutnya saya perlu mulai memikirkan juga, bagaimana menstimulasi mahasiswa saya untuk berfikir kreatif melawan rasa bosannya ketika saya harus berceramah dan menjelaskan cukup panjang. Kreatif untuk belajar agar tidak selalu bergantung pada saya, agar menjadi pembelajar yang mandiri sekaligus tangguh karena ia mampu belajar dalam keadaan apapun juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H