Lihat ke Halaman Asli

Waiting for Superman: Sebuah Kesan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kisah dalam film Amerika seringkali membawa pesan inspirasi, tentang impian yang terwujud, tentang seorang pahlawan yang lahir dari kelas menengah atau bahkan kelompok miskin, yang berhasil mempercundang kejahatan dan bahkan memenangi tantangan alam. Namun ketika melawan kebobrokan sistem pendidikan, adakah “Superman” tampil dan menyelamatkan masa depan jutaan anak Amerika?
Amerika masih menunggu. Inilah yang membuat film yang disutradarai oleh Davis Guggenheim, “Waiting for Superman”, menjadi sangat relevan dengan pendidikan Indonesia: menanti adanya perubahan, reformasi yang sesungguhnya. menanti seorang pahlawan yang mampu menguraikan kekusutan dan carut marut sistem pendidikan negeri ini, sehingga pendidikan yang berkualitas dapat diperoleh anak-anak Indonesia, dan semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk memperolehnya.

Kedengarannya mudah, bahwa peran sekolah dan guru itu pada dasarnya hanya membuat anak yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa. Guggenheim mengilustrasikannya dengan ‘riang’, di mana guru membawa sebuah kotak serupa kotak jus, berisi dengan berbagai ilmu pengetahuan yang siap dituangkan ke dalam kepala setiap muridnya. Jadi apa yang salah? mengapa tugas sesederhana itu selalu berakhir dengan persentasi kelulusan yang sangat rendah di banyak negara bagian di Amerika? Guggenheim mengaitkannya dengan masalah kualitas guru, kebijakantenure (sistem kerja permanen, di mana ketika seorang guru menjadi tenure, maka profesi tersebut akan disandangnya seumur hidup, tanpa peduli bagaimana kualitasnya). Di USA juga terjadi transfer guru, di mana guru dari satu sekolah negeri dapat dipindahkan ke sekolah lain. dalam sistem ini, biasanya guru yang dianggap kurang berkualitas oleh kepala sekolah, di’kirim’ ke sekolah lain, dan ia akan berharap guru tersebut digantikan oleh guru dari sekolah lain. yang sayangnya, kualitas guru yang menggantikannya juga ‘buangan’. Hmmm, suatu sistem yang serupa dengan Indonesia, kan?

Lima orang siswa public school, yang di Indonesia dikenal dengan istilah SD Negeri, menjadi “jiwa” film dokumenter yang sarat dengan data dan fakta tersebut. kelimanya memiliki semangat dan dukungan orangtua, kelimanya berharap untuk mampu meraih pendidikan tinggi, dan kelimanya menyadari bahwa sekolah negeri membawa resiko terlalu besar untuk mewujudkan impian mereka untuk sampai ke bangku kuliah. sekolah swasta yang memang lebih berkualitas jelas tidak masuk dalam pertimbangan orangtua kelima anak tersebut, semata-mata karena satu alasan: mahal. sekolah swasta memang bukan diciptakan untuk semua orang toh.

ada alternatif yang dibangun masyarakat intelektual Amerika: Charter School. saya pernah membaca tentang sekolah ini, dan juga mendengar dari seorang teman yang juga adalah Profesor di USA (dan saat ini ia sendiri membanguncharter school di kotanya *bangga punya teman seperti beliau). Charter school adalah sekolah yang statusnya berada di antara sekolah swasta dan sekolah negeri. Sekolah ini terjangkau biayanya, namun tidak terikat dengan budgetpemerintah dan sistem “lempar-tangkap” guru tidak berkualitas. sehingga charter school memiliki wewenang untuk menentukan standar kerja guru mereka, termasuk berhak untuk memecat guru yang bermasalah (yang mana guru jenis ini jumlahnya tidak sedikit - suatu hal lain yang merupakan kesamaan antara USA dan Indonesia, sepertinya).
Kelima anak yang menjadi sentral cerita ini sangat berharap untuk dapat bersekolah di charter schools yang tersebar di berbagai wilayah di USA, berharap dapat belajar dari guru yang berkualitas, walaupun sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas yang menggiurkan (tidak ada gym, ruangan yang terbatas). gurulah yang mereka percaya dapat mengubah diri mereka, membuat mereka percaya bahwa impian mereka dapat terwujud, dan membuat banyak anak dan orangtua tertarik pada charter school ini.

Tetapi tentu tidak hanya lima anak Amerika yang berharap dapat meraih pendidikan di Charter School, ratusan bahkan ribuan anak (dan orangtua mereka) menyiangkan jari mereka, berdoa agar mereka diterima di charter school. ya, doa-lah harapan mereka ketika seleksi untuk masuk ke charter school tidak didasarkan pada tes “calistung” (baca - tulis - hitung) seperti di kebanyakan sekolah di Indonesia. Dalam hal ini saya sependapat bahwa setiap anak yang masih dalam proses inisiasi belajar, tidak patut dites masuk ke suatu sekolah. Anak yang lebih dahulu mampu calistung harus mempunyai kesempatan yang sama dengan mereka yang belum mampu, semua anak layak mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. maka jalannya adalah: mengundi calon siswa, secara acak/random sekolah menentukan siapa yang dapat bersekolah di charter schoolequal opportunity.

Dan saat itu, saya berharap sekali film ini berakhir selayaknya film-film Hollywood: jagoannya menang, tokohnya selamat, dan semua berbahagia. maka sejak film ini menampilkan ratusan anak dan orangtua berkumpul di suatu hall, satu tangan memegang kartu bertuliskan nomor undian dengan gelisah dan tangan yang lain terkepal dengan jemari ibunya atau menyilangkan jari (cross the fingers), berharap pada keberuntungan ataupun pengkabulan doa; dada saya sudah terasa sesak. Sekitar lima ratus calon, untuk menempati tiga puluhan kursi yang tersedia. Sebagian dari mereka berteriak girang ketika nomornya disebut, dan sebagian lainnya menangis ketika harapannya pupus.

dan semoga,
ketika film ini tidak berakhir dengan senyum untuk kelima tokoh cerita,
maka ini adalah suatu pertanda,
bahwa kisah ini memang belum sampai pada ujungnya.

angka lotre yang kau pegang, bola-bola undian yang digulirkan;
di situlah harapan untuk masa depan yang lebih baik mereka gantungkan.
hidup adalah undian?

sebagian anak mendapatkan undiannya sejak mereka lahir;
dan sebagian sisanya terus mencari kesempatan,
dan menyilangkan jarinya,
serta berkeyakinan, bahwa suatu hari, di antara hari-hari yang banyak itu,
nomor yang digenggamnya akan disebut dengan lantang
dan mereka keluar sebagai pemenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline