Lihat ke Halaman Asli

#SeninHitam

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jam 12.23.

Baru saja saya selesaikan draft “Research Framework” yang akan saya presentasikan di rapat jam 13.00 nanti. Dan lumayan berasa kecil hati, menyadari bahwa saya tidak bisa ikut berjuang bersama mereka yang berhitam-hitam di Bunderan HI siang hari ini. Tetapi belajar dari John Dewey dalam bukunya “Democracy and Education” (1916), komunitas adalah kumpulan orang-orang yang sejiwa, terikat oleh satu idealisme yang membuat orang-orang di dalamnya berasosiasi, tergerak untuk melakukan suatu hal bersama-sama demi ulitimate goals yang serupa. Dan, ini yang paling penting, Dewey bilang suatu komunitas tidak terbentuk hanya karena mereka berdekatan secara fisik. Bahkan sebaliknya, orang-orang yang terpisah jarak pun dapat membangun suatu komunitas yang solid. Dan siang ini, walaupun saya hanya punya waktu beberapa menit saja untuk mengekspresikan perasaan dan dukungan moral, semoga saya adalah bagian dari komunitas #SeninHitam.

Sengaja saya memutar komposisi Jazz yang dimainkan John Coltrane, Alabama, yang diciptakannya sebagai respon terhadap pemboman gereja kulit hitam di Birmingham tahun 1963. Siapa yang membom? Mereka yang hatinya penuh dengan kebencian. Saya selalu memutar komposisi ini dengan hati yang berat, setiap kali saya mendengar, membaca, dan melihat (melalui televisi) amuk atas nama kebencian. Benci yang mereka topengi dengan simbol-simbol kepatuhan pada Tuhan mereka. Menjijikan dan membuat saya merasa bahwa tidak ada yang lebih bodoh daripada mengucap nama Tuhan untuk membuat seseorang merasa layak menghabisi nyawa mahluk-Nya. Bodoh karena mengira Tuhan akan bangga dan berterimakasih atas parang yang mereka tebas dan api yang mereka sulut.

Saya mencoba menulis siang hari ini, dengan kesadaran penuh bahwa saya hanyalah satu individu yang tidak signifikan, seorang rakyat biasa diantara jutaan (ya, semoga jutaan memang) rakyat yang mengecam pembantaian anti-Ahmadiyah. Ya, saya sangat sadar bahwa saya hanyalah satu suara yang redup.Dan teman-teman saya yang berada di Bundaran HI mencoba membuat gema, agar Presiden yang satu orang namun sangat signifikan itu bergerak melampaui sekedar ucapkan rasa prihatin. Karena ia dipercaya, diamanatkan untuk bertindak lebih dari sekedar curhat rasa prihatinnya saja.

Saya hanyalah satu individu, sendirian ataupun tidak, saya merasa harus bergerak. Saya tidak berada di singgasana Istana Merdeka, saya bukan diantara kelompok penyusun kebijakan Negara, tetapi saya pendidik! Maka pantang bagi saya cuma berkata “prihatin” lalu duduk dan lanjutkan makan malam saya. Pantang bagi saya hanya “menghimbau” orang lain lalu lanjutkan memilih batik yang sesuai untuk pencitraan saya. Saya adalah pendidik. Saya harus berkontribusi.

Maka teman-teman sekomunitas, maafkan saya tidak bisa bersama kalian siang hari ini, walau saya tahu berdiri bersama kalian di bundaran itu, berada dalam lingkaran humanis itu, berdampingan dengan teman-teman menebar aura perdamaian, pastilah sangat menyejukkan amarah dan sakit hati saya saat ini. Selamat berjuang teman, terima kasih telah membuat saya yakin bahwa saya tidak sendirian. Terima kasih telah menyadarkan saya, betapa kuatnya kita sebagai individu yang bernurani, sebagai komunitas yang bervisi.

Jam 12.50.

izinkan saya mempersiapkan presentasi saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline