Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan, Perbedaan #3: Apa target pendidikan multikultural?

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Membaca teman saya berpendapat tentang “multicultural week” yang akan diselenggarakan sahabat saya di sekolahnya, saya jadi terdorong untuk menambah lagi tulisan kecil yang tidak akademis, tentang pendidikan dan perbedaan, tentang pendidikan multikultural.

Terus terang saya belajar secara otodidak saja, berguru pada pengalaman, baik pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain, sambil berharap-harap bisa belajar tentang pendidikan multikultural, tentang pendidikan untuk perdamaian, secara lebih terstuktur dan terukur. Tetapi di sini saya bisa belajar menuliskan apa yang saya pelajari, setidaknya.

Sahabat saya adalah guru yang mempunyai value yang kuat. Sudah pasti ia adalah guru yang harus diandalkan dalam membangun moral calon pemimpin bangsa. Sayangnya, ia berada di suatu sekolah yang – maaf – masih sulit membedakan antara membangun sekolah dengan supermarket. Waduh, kedengeran arogan ya komentar saya? Maklum deh, saya juga pernah jadi guru dan tahu rasanya ketika program yang dirancang memang diarahkan untuk mencapai objektif tertentu, terpaksa dibelokkan dengan alasan… tidak jauh-jauh dari alasan ‘profit’ lah pokoknya.

Multicultural week. Untuk saya yang berminat pada dunia pendidikan multikultural, jelas ini menjadi minggu yang penting dan penuh gairah ketika saya mendengar sebuah sekolah menyelenggarakannya. Tetapi ternyata yang membuat sahabat saya menceritakannya dengan emosi adalah konsep kegiatan tersebut yang ternyata, lagi-lagi, mengarah kepada keriaan (baca: pesta) dengan panggung, dekorasi sekolah yang berwarna-warni, tarian dan nyanyian, juga makanan-makanan yang mencirikan keragaman budaya di Indonesia atau bahkan di dunia.

Sayangnya pembelajaran multikultural yang seperti itu adalah pembelajaran yang sangat dangkal. Setelah tahu bahwa pakaian adat suku Jawa Tengah berbeda dengan pakaian adat Aceh, makanan khas Palembang berbeda dengan makanan khas Bali; so what?!

Mengenal perbedaan. Mengetahui adanya perbedaan. Benar bahwa itu adalah awal dari pembelajaran multikultural. Tetapi sebenarnya, pembelajaran yang ditujukan sebatas pada pada mengetahui/mengenal semata belum bisa dikatakan pembelajaran multikultural. Mengutip dari berbagai sumber, pembelajaran multikultural sepatutnya mendidik siswa kita untuk mampu menerima dan mengakui adanya perbedaan yang lebih dari sekedar perbedaan hal-hal yang kasat mata atau telinga (baju, makanan, lagu, bahasa); yang kemudian mereka dapat menyikapi perbedaan tersebut dengan nilai-nilai multikulturalisme (toleransi, empati, menghormati, memahami, dsb). Jadi kalau semata-mata mengajarkan keragaman produk budaya, saya ragu (who am I to judge :P) bahwa itu adalah pendidikan multikultural.

Maka kembali ke masalah perbedaan bahasa tadi misalnya. Sering saya mendengar, “Ganteng sih, tapi logat bicaranya Jawa banget!” yang diikuti dengan tawa cemooh. Atau fakta bahwa beberapa remaja memilih untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di mall (dengan suara keras) karena merasa bahwa itu lebih keren daripada berbahasa Indonesia, ya itu alasannya karena saya memang benar-benar menanyakannya apakah ia berbahasa Inggris karena ingin melatih conversation-nya atau karena trend.

Boleh saja, tidak ada yang benar-benar salah atau betul bukan dalam hidup bermasyarakat. Tetapi please jangan sebut sebagai pendidikan multikultural ya, sebab menilai/mengevaluasi sesuatu produk budaya secara subjektif dan terburu-buru sama sekali kontraproduktif dengan pendidikan multikultural. Dalam pendidikan multikultural, perbedaan bukan dipelajari untuk kemudian dinilai mana yang lebih bagus, atau untuk menguatkan bahwa budaya kita yang lebih baik daripada budaya mereka, dsb. Tetapi dipelajari supaya anak-anak kita lebih bijak, mampu melihat perbedaan sebagai sesuatu yang powerful dan kaya.

Yang menjadi sasaran dalam pendidikan multikultural justru adalah mengatasi masalah-masalah stereotyping (menjeneralisasi, menilai suatu kelompok secara ‘tipikal’ dan tidak benar-benar berdasarkan observasi yang dapat dipertanggungjawabkan, plus mengabaikan keunikan individu: “yah, namanya juga orang Sunda, mereka kan…”), prejudice (sikap yang terlahir dari stereotype: “males lah komunikasi sama orang Batak…” dan deskriminasi (prejudis yang sudah menjadi tindakan, sehingga merugikan seseorang atau sekelompok orang: “perempuan tidak berjilbab dilarang masuk” à serius, ini pernah saya baca). Maka saran saya di multicultural week, anak-anak, no matter how small they are (berfikir kritis bisa dimulai dari kecil kok), diajarkan tentang konsep-konsep hormat, toleransi, bentuk-bentuk stereotypes dsb. Caranya? Drama bisa, nonton film bisa, storytelling atau book reading bisa. Banyak! Tapi yang penting: tujuan dulu mau apa… mau foto-foto buat promosi sekolah (how fun we are!) atau mau benar-benar belajar tentang hidup bersama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline