Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan, Perbedaan: #1 Toleransi

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Ketika saya studi di Malaysia, saya menyambi bekerja sebagai asisten penelitian dosen. Saat itu penelitian dosen saya adalah tentang pendidikan multikultural dengan konteks Malaysia. Saya sangat naïf, berfikir semata-mata berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya yang terbatas, sehingga saya menyimpulkan bahwa isu multikulturalisme tidak terlalu relevan untuk konteks Indonesia yang sudah ber-Bhineka Tunggal Ika.

Terlalu sederhana memang, kesimpulan tersebut saya ambil semata-mata karena saya melihat tidak ada masalah bagi saya dan orang-orang yang saya perhatikan di berbagai tempat, bergaul dengan orang yang berbeda agama, suku dan etnis. Saya juga mempunyai cukup banyak pengalaman bagaimana hidup serumah kos dengan teman yang merayakan Natal, dan bagaimana kami sepakat untuk berbisik-bisik ketika salah satu teman kos kami sedang beribadah Nyepi. Jadi singkatnya, saya pikir isu intoleransi dalam beragama dan bersuku bangsa tidak masalah lagi untuk orang Indonesia.

Jelas salah banget kesimpulan saya. Jelas bahaya saya berkesimpulan hanya berdasarkan kehidupan saya di Jakarta (Selatan) dan Jogja (Bulak Sumur, Sekip dan sekitarnya). Ternyata toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia masih menyedihkan. Jelas sedih kalau pemerintah saja intoleran pada perbedaan keyakinan dan kekerasan pada suatu agama dibiarkan tanpa tindakan hukum yang tegas.

Lalu sayapun merasa terdorong sekali untuk kembali membuka-buka arsip kerjaan saya ketika menjadi asisten dulu. Memahami masalah intoleransi dan bagaimana pendidikan dapat memberikan kontribusi bagi tumbuh kembangnya toleransi, mencerna kembali bacaan-bacaan yang harus saya rangkum ketika itu (dan saya waktu itu kesel juga, karena bacaan2 ini tidak nyambung dengan tesis saya tentang buku pelajaran… sekarang jadi mengerti bahwa tidak ada pelajaran yang sia-sia), dan saya kini ditugaskan untuk mengajarkan topik2 multikultural kepada mahasiswa saya. Selain itu, saya juga berusaha untuk secara konsisten (Bismillah, jeleknya saya suka ‘anget-anget tahi ayam’ nih L) menulis, berbagi di sini, serial pendidikan multikultural secara sepintas. Dan saya akan mengawalinya dengan membahas toleransi.

Salah satu orang yang saya ‘buntuti’ di twitter, yang juga adalah tokoh cendekiawan agama, menulis tentang kekesalannya atas intoleransi kasus Ahmadiyah dan HKBP di Bekasi. Secara retorik ia menyeru: Kenapa orang susah bertoleransi?!

Saya me-retweet (RT) dan menulis komen saya terhadap tokoh tersebut: “people often misconception between to understand and to tolerate. Consequently, they won’t tolerate what they don’t understand”. Akibat orang tidak bisa membedakan antara “memahami” dengan “mentolerir”, maka seringkali orang tidak bisa mentolerir apa yang tidak bisa mereka pahami.

Menurut saya, kesulitan orang bertoleransi bisa jadi karena kurangnya pemahaman mereka tentang makna toleransi itu sendiri. Apabila ditanya apa yang dimaksud dengan toleransi, mungkin tidak sedikit yang mampu menjawab: “membiarkan orang lain dengan caranya, dengan keyakinannya.” Ya, betul. Tidak susah untuk dimengerti konsep toleransi ini. Tetapi ketika kita perdalam pertanyaan tersebut dengan “mengapa” atau “bagaimana”, seringkali saya mendapati bahwa orang tertukar makna antara “to tolerate” dengan”to understand”. Toleransi tidak sama dengan memahami. Dan keduanya tidak melulu perlu bersandingan, atau dengan kata lain, untuk mentolerir tatacara beribadah seseorang, seseorang tidak harus memahami tatacara atau orang tersebut. Cukup biarkan saja.

To understand, untuk memahami, adalah proses yang tidak sederhana. Saya bisa memahami sesuatu apabila sesuatu yang baru saya kenali itu bisa diterima oleh akal, logika, dan bahkan, perasaan saya. Apabila saya menolak penjelasan tentang suatu fakta karena perasaan saya negative terhadapnya, sulit bagi saya untuk memahami fakta tersebut. Sementara untuk mentolerir, sebenarnya tidak perlu sesulit itu. Saya tidak mengerti mengapa umat Hindu melakukan nyepi, rela berdiam dan mengasingkan diri sebegitu lama (ya, buat saya ngga bicara 10 menit saja repot rasanya), demikian pula dengan teman saya yang katolik tidak mengerti mengapa saya sebegitunya mempertahankan puasa ketika cuaca sangat panas dan saya harus berada di tengah jalan. Kami tidak perlu saling memahami dalam hal ini, saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar dan berharap dia mau menerima paham yang saya yakini. Tapi kami bisa saling menghargai, mebiarkan teman saya dengan Nyepi-nya, dan membiarkan saya kelaparan kehausan di tengah puasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline