Corak masyarakat majemuk (plular society) Indonesia yang ditandai oleh penekanannya pada kesukubangsaan dan kelompok-kelompok sukubangsa yang beranekaragam kebudayaannya, harus dipelajari kembali mengingat potensi yang dapat dimanipulasi secara social dan politik untuk memecah-belah kebangsan Indonesia dan anti demokrasi.
Masyarakat majemuk, termasuk Indonesia tidak menghasilkan tatanan kehidupan yang egitarian dan demokratis, tetapi sebuah masyarakat yang berpotensi otoriter dan despotic karena corak struktur social kelompok-kelompok seuku bangsa yang beranekaragam dari feodalistis dan paternalistis terserap dalam system nasional Indonesia yang bercorak otoriter-militeristik yang Nampak jelas dalam pemerintahan orde baru. Corak ini digunakan untuk mengimbangi dan meredam gejolak politik kesukubangsaan yang etnosentris dan tribalistis.
Lambang Negara dan Bangsa Indonesia, 'bhineka tunggal ika' atau masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, sudah sepatutnya dikaji untuk diubah dan digeser penekanannya pada keanekaragaman kebudayaannya. Bersamaan dengan itu, perlu diupayakan untuk melemahkan atau mengesampingkan keanekaragaman seukubangsanya.
Penekanan pada keanekaragaman budaya harus mencakup bukan hanya kebudayaan-kebudayaan sukubangsa, melainkan juga berbagai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat-masyarakat setempat di Indonesia, baik secara tradisional berlaku ditempat setempat, maupun dari luar.
Bersamaan dengan itu, prinsip demorasi dalam arti yang sebenarnya harus dijadikan kebijakan politik nasional. Kebijakan itu harus terwujud dalam ketentuan-ketentuan hokum yang beroperasional dalam berbagai pranata social, baik secara nasional maupun local, yang akan menjamin terwujudnya individualisme dan individualitas. Hal itu diharapkan mendorong terwujudnya nilai budaya yang mendukungnya.
Dengan kebijakan politik kebudayaan seperti tersebut diatas, maka diharapkan tidak akan muncul dan berkembang lagi ideology politik kesukubangsaan yang menekankan pembedaan antara mereka yang asli dan lebih berhak, dengan mereka yang pendatang dank arena itu harus didiskriminasi. Bukan kekuasaan komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sukubangsa an kesukubangsaan yang utama dalam mewujudkan kehidupan demokrasi, melainkan individu-individu dengan keanekaragaman kebudayaan yang setara derajatnya yang harus menjadi landasan bagi terwujudnya kehidupan demokrasi.
Dengan demikian, hak budaya komuniti manapun dalam wilayah Indonesia harus dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh system nasional dengan mengacu pada ketentuan hokum yang dibuatnya. Dalam kehidupan demokratis, yang digolongkan sebagai sacral atau sokoguru demokrasi bukan hanya individu, melainkan juga masyarakat (yaitu Negara yang diwakili oleh pemerintah), dan komuniti atau masyarakat setempat.
Komuniti atau masyarakat setempat ini merupakan kumpulan dari individu-individu yang hidup secara bersama dengan berpedoman pada kebudayaan yang mereka miliki bersama (SUparlan 1991). Hubungan antara individu, Negara, dan komuniti atau masyarakat setempat adalah hubungan konflik kepentingan yang saling tergantung satu sama lainnya, tempat masing-masing akan berupaya mendominasi lainnya. Oleh karena itu, berbagai ketentuan politik dan hokum harus dibuat dan dibangun untuk menciptakan suatu keseimbangan hubungan kepentingan yang akan menguntungkan ketiga unsur sacral dalam kehidupan demokrasi tersebut.
Komuniti dapat dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan berkala kecil yang menempati satu wilayah. Hak budaya komuniti mencakup dua pengertian tersebut, terutama ditujukan untuk pengertian sebagai kesatuan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H