Lihat ke Halaman Asli

Bakat Apa yang Akan Kau Pilih?

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika hidup ini seperti ujian dengan soal pilihan ganda, maka seandainya disuruh memilih bakat, saya akan memohon pada Tuhan Yang Maha Pengasih yang tentunya tidak pilih kasih agar memberi saya kemampuan menggambar.

Saya bukan sedang kufur nikmat atau mencoba menghitung karuniaNya yang tidak terbatas. Tidak, saya tidak sekurang ajar itu. Tapi sampai sekarang saya masih tidak mampu menutupi kekaguman mendalam terhadap tangan-tangan ajaib yang bisa memindahkan ide/pemandangan/kritik ke dalam kertas. Itu keajaiban dunia dalam tataran nyata. Bahkan teknologi photosop atau fotografi pun mungkin tidak kelas sama sketsa buram. Ya, sketsa buram yang kesannya mirip oret-oretan itu seperti punya daya. Ada sesuatu yang lebih dari sekedar arsir, sesuatu yang bisa dimaknai dan terkadang seolah menyindir.

Saya selalu iri pada mereka yang mampu bersahabat dengan pensil. Seolah persahabatan itu sanggup menciptakan dunia estetika sendiri bahkan hanya dengan hitam dan putih. Jujur, mungkin iri ini mencapai taraf obsessive compulsive. Sampai-sampai tidak terima kalau salah satu dari mereka minder sama efek 3D yang perlahan meminggirkan sketsa dan ilustrasi. Kawan, aku saja percaya kalau teknologi tidak akan mengalahkan buatan asli manusia. Okelah sama-sama bagus, dan mungkin punya nilai estetika juga, tapi sejak kapan mesin bisa menciptakan rasa dan karsa? Tanganmu punya daya lebih untuk melukiskan semiotika. Lagi pula teknologi tidak tercipta untuk mengalahkan seni.

Dan lagi, menggambar itu semacam keahlian yang tidak bisa diganggu gugat. Sejak SMA saya menjadi yakin kalau menggambar/melukis cuma bisa dilakukan oleh orang-orang terpilih. Meski bisa dilatih, hasilnya tetap beda, antara orang yang dibekali bakat dengan amatir gigih sekalipun. Buktinya, meski dulu latihan keras di kelas seni rupa, nilai teman yang berbakat selalu lebih tinggi. Antara 85-90. Sementara kisaran nilai saya hanya 70-85. Itu pun bahagia minta ampun kalau dapat 85.

Hal ini tentu berbeda dengan menulis, main musik, akting dan beretorika. Kemampuan-kemampuan itu bertumpu pada latihan. Makanya ada quote anonim yang menyatakan bahwa bakat cuma berperan 20%.

Namun, terlepas dari apapun bakat kita, terpenting adalah menemukan passion dan menekuninya. Karena hidup itu sendiri bukan pilihan, tapi anugrah dan pemberian. Ada yang selalu tahu kebutuhan mendasar kita.

Jadi, tekuni saja passionmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline