Lihat ke Halaman Asli

Refleksi

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak pernah menyesali apapun dalam kehidupan ini. Konsekuensi dari keputusan-keputusan yang saya ambil, atau mengalami semacam ketakutan absurd pada masa depan. Tidak pernah.

Satu-satunya hal yang  saya sesalkan adalah itu.

Saya sangat mencintainya. Bahwa dia telah memberikan begitu banyak hal, pelajaran juga pengertian yang saya bawa hingga hari ini. Tapi bahkan tidak satu kali pun saya berterimakasih. Tidak satu kali pun saya menunjukan betapa dia serupa obat yang menyembuhkan. Sebagaimana penawar paling mujarab yang menamatkan segala jenis racun. Bagi saya sendiri, dia selalu lebih dari itu.

Saya ingat, waktu itu untuk pertama kalinya saya takut pada kehidupan. Untuk pertama kalinya tidak menginginkan apapun. Sedikit berlebihan, memang. Tapi waktu itu, takut adalah semacam representasi bahwa saya tidak percaya dia pergi. Menghilang begitu saja tanpa akan saya temui kembali. Bagaimana bisa saya meneruskan hidup yang seperti itu?

Saya punya waktu sangat banyak:

Saat ngobrol di beranda, bebarapa kali di terminal saat dia tak pernah ke mana pun selain di samping saya, saat dia pulang dengan wajah letih, saat dia masih menyuruh saya makan setiap hari meski tahu bahwa orang dewasa tak butuh diperingatkan, saat dia bertanya ‘kapan pulang?’ tapi tak pernah saya jawab dengan serius, dan sangat banyak saat di mana dia menjadi sosok penting tanpa pernah saya sadari.

Saya menyesal.

Walaupun waktu dengan ribuan detiknya perlahan menghapus luka, kehilangan akan kembali berkali-berkali. Membuat saya tidak bisa tidak menangis. Karena saya tidak bisa, benar-benar tidak bisa dan takkan pernah, mengatakan rindu padanya secara langsung. Saya tidak tahu, adakah masa sesederhana ‘kemarin’ yang mampu membuatnya ada di depan mata. Sekali saja.

Dia, pria paling hebat dalam hidup saya.

Yang tidak memberi semua keinginan, tapi memenuhi kebutuhan. Yang selalu pelit pujian, tapi saya justru termotivasi karena itu. Yang tidak akan beranjak sebelum saya pergi dengan aman. Yang memberi perlindungan sekaligus kenyamanan lebih sempurna dari pelindung terbaik manapun. Yang tersenyum sambil berkata “tidak apa-apa”, padahal saya manusia brengsek yang gagal dalam ujian. Yang memberi saya kekuatan bahkan dia saat-saat lemahnya.

Saya mencintainya. Tapi kalimat ini hanya akan membusuk tanpa pernah didengar atau dimengerti.

Kenapa saya idiot sekali. Kenapa saya tergoda dengan hal-hal picisan, tapi tidak memahami kesejatian selagi bisa mengungkapkan. Kenapa saya tidak ada di saat dia berada pada masa sulit, padahal kesempatan terbuka sangat lebar. Kenapa saya buta terhadap itu semua!

Dan sekarang,

Dia tidak pernah beranjak dari sana. Sekaligus tidak ada sebagai ‘sosok’ kapan pun saya ingin menemuinya. Tentangnya sekadar hari-hari lalu, hanya ruang kosong tak berpenghuni, baju yang dilipat rapi tapi tak dipakai lagi, hanya album dan senyum yang mengekalkan kenangan, juga sejenis semangat yang saya simpan sendiri.

Untukmu, aku ingin jadi seseorang.

Salam sayang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline