Lihat ke Halaman Asli

Harmoni

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya… hakikat… manusia…

Lirik lagu di atas seketika melintas di kepala ketika mendaki. Ya, sekarang saya sedikit paham kenapa orang yang sudah pernah naik gunung selalu ingin balik lagi. Ada begitu banyak katarsis dari setapak terjal, dingin yang menggigit dan kadang-kadang matahari yang hangat tapi bersahabat. Alam seperti ibu yang memeluk kaki kecil para pendaki, membiarkan mereka menapak untuk melihat betapa Tuhan itu arsitek yang tak pernah cela. Dan berada di kehijauan yang nyaris menyentuh langit, kau akan berujar pada diri sendiri. . . nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Sayangnya, belakangan ini banyak ditemui pendaki yang kurang dewasa. Membuang sampah anorganik sembarangan, lalu menunjukkan eksistensi lewat tulisan-tulisan di batu atau kalap melihat si cantik (bunga2 macam edelweiss, daisy ungu dll) kemudian memborongnya turun tanpa perhitungan. Itukah pecinta alam?

Sejak film tentang alam marak dan naik gunung menjadi ngetrend, mencintai alam membias pada banyak makna. Orang berbondong-bondong naik gunung, mencari spot indah dan memamerkan foto dengan tagline #penaklukan.. hohoho seolah gunung adalah tantangan yang harus dibikin k.o

Padahal, alam bukan gunung saja. Kita sama-sama tau, alam adalah segala yang di langit dan bumi. Baik itu laut, gua, danau, rawa apalagi gunung. Dan pecinta alam, apakah harus selalu berkutat di gunung saja, namun apatis terhadap limbah yang setiap musim menyumbat sungai dan menimbulkan banjir? Saya rasa, eh, kita rasa.. tidak kan?

Jika alam adalah segala yang di langit dan bumi, maka sebagai pecinta, seyogayanya kita tidak boleh pilih kasih bukan? Sesekali, kita perlu juga mendengar ombak yang konon merupakan suara paling merdu di dunia. Sesekali, kita harus belajar mengerti kenapa udara senantiasa memilih tempat tinggi dan banyak pohon. Kemudian berkali-kali, kita harus sadari, alam pun sama sebagai ciptaan Tuhan, memiliki siklus untuk sebuah harmoni. Maka jangan sedih apalagi marah ketika mereka berontak, kita saja belum sepenuhnya memahami limbah yang dibuang setiap hari itu menyakiti atau tidak.

Mencintai alam tidak harus muluk-muluk dengan naik gunung atau kesana – kemari mencari jawab pada rumput yang bergoyang. Kawan, seperti kata pepatah, jika kita tidak bisa membahagiakan orang yang kita cintai, maka setidaknya tidak usah menyakiti. Cukuplah mencintai dengan sederhana, semisal memejamkan mata lalu menghirup udara sejuk dan merasakan angin membelai kita dengan bahasa mereka. Di puncak, sibukkan diri dengan merasakan betapa kecilnya manusia dibanding semesta. Bahwa pemandangan adalah bonus dari nafas yang terpotong-potong saat mendaki, lutut yang gemetar saat menapak dan pundak yang lelah membawa beban. Sungguh alam dan segala estetikanya merupakan hadiah manis dari Tuhan. Mereka selalu berdiri di sana sebagai keindahan. Tanpa kita daki, tanpa diarungi atau disibak oleh pisau-pisau kecil yang jahat.

Cintailah sehebat yang kaubisa. Secara sehat, dengan diam dan merenungi apa yang pernah kita perbuat untuk mereka. Sementara mereka telah memberi tanpa pernah kita hitung. Mari sini, singkirkan segala kesombongan. Jika tak mampu berbuat lebih, cukup kantongi dulu setiap sampah yang kaucipta sampai ia menemukan tempatnya. Biarkan semua sampah berakhir di tong sampah. Di mana pun itu. Bahkan jalanan, taman serta ruang kelas juga termasuk bagian dari alam yang rindu dicintai.

Naik gunung, arung jeram, pesiar, bukanlah sejenis prestasi yang patut dibanggakan. Toh, cinta tidak dihitung dari frekuensi seseorang naik gunung atau seberapa sering orang mendayung. Cinta adalah bahasa hati yang tidak bisa diukur oleh kata-kata, ia bisa dirasai dan dimaknai jika sudah maujud dalam bentuk tindakan. Lagi pula seperti kata Soe Hok Gie, patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.

Bukankah sebaik-baik cinta adalah yang membawa kita pada kebaikan dan berbuat baik?

Dan di atas itu semua, mari berterimakasih kepada yang menciptakan segala sesuatunya dengan indah, dengan terarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline