Oleh : Nirvanni Reswari Adi Putri, Mahasiswi Magister Manajemen Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung saat ini sedang mengalami masalah keuangan. Pembangunan mengalami pembengkakan biaya hingga Rp 27,74 triliun dari estimasi awal sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun menjadi US$8,6 miliar atau sekitar Rp114,24 triliun. Budget awal pembangunan kereta cepat perinciannya yaitu US$4,8 miliar untuk biaya konstruksi (EPC), sementara itu, US$1,3 miliar untuk biaya non-EPC. Tetapi setelah perhitungan pada November 2020, biaya tersebut semakin membesar menjadi US$8,6 miliar. Senilai US$4,55 miliar atau sekitar Rp64,9 triliun biaya pembangunannya berasal dari Pinjaman China Development Bank. Jumlah tersebut senilai dengan 75 persen dari total nilai investasi sebesar US$6,07 miliar. Dana pinjaman dari China Development bank tersebut disepakati pada tanggal 12 Mei 2017 dengan tenor 40 tahun dan masa tenggang 10 tahun dengan availability period hingga 2022. Menurut konsultan, biaya proyek tersebut naik karena adanya perubahan harga dan biaya, dan terjadi penundaan pembebasan lahan. Konsultan PSBI memperkirakan pembangunan kereta cepat berada di dalam skenario low and high, yaitu skenario rendahnya pada US$9,9 miliar dan tingginya pada US$11 miliar. Hal ini berarti terjadi cost overrun pada skenario tersebut yaitu sekitar US$3,8 miliar hingga US$4,9 miliar.
Dengan adanya pembengkakan biaya kereta cepat ini, maka pemerintah mengizinkan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dibiayai menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal sebelumnya pemerintah pernah dengan tegas mengatakan tidak membiayai pembangunan kereta cepat ini menggunakan uang negara. Pemerintah pernah mengungkapkan hal ini pada tahun 2016 saat groundbreaking proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pembangunan proyek kereta cepat ini awalnya murni menggunakan dana investasi dan pinjaman tanpa menggunakan jaminan pemerintah. Sebelumnya juga, pada tahun 2015 pemerintah mengatakan dengan tegas bahwa proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan anggaran negara atau APBN tetapi pendanaan diserahkan kepada BUMN. Selain itu, karena proyek ini menggunakan system business to business (B to B) maka pemerintah tak akan memberikan jaminan kepada BUMN dalam menjalankan proyek pembangunan tersebut. Tetapi sekarang berbeda karena hampir semua perusahaan BUMN yang memegang proyek tersebut mengalami kendala dalam keuangan akibat pandemic Covid-19 maka APBN merupakan jalan keluar dari permasalahan ini. Konsorsium kereta cepat ini terdiri dari 4 perusahaan BUMN, yaitu PT. Wijaya Karya, Tbk, PT. Jasa Marga, Tbk, PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dan PTPN VIII. Dengan penggunaan dana APBN tersebut maka menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Banyak masyarakat yang menganggap hal itu wajar jika proyek menggunakan APBN, tetapi ada juga yang tidak setuju.
Salah satu solusi permasalahan kendala pembengkakan keuangan pembangunan kereta cepat tersebut adalah dapat menerapkan pendekatan six sigma metode DMAIC untuk strategi manajemen operasional kedepannya. Six Sigma biasanya digunakan untuk perbaikan dan peningkatan proses perusahaan serta pengendalian kualitas secara terus menerus untuk proyek pembangunan tersebut.
Dalam metode DMAIC ada 5 tahapan yaitu Define (menentukan masalah, tujuan masalah, dan proses, measure (mengukur masalah), analyze (menganalisis efektivitas dan efisiensi proses untuk mencapai tujuan), improve (mengidentifikasi cara perbaikan/ mengembangkan proses) dan yang terakhir control (menilai performa implementasi strategi dari perbaikan tersebut).
Pertama yaitu menentukan masalah kereta cepat Jakarta-Bandung yang paling utama adalah pembengkakan biaya operasional. Penyebab biaya membengkak salah satunya akibat pandemi Covid-19 yang berdampak terhadap kendala keuangan para investor proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung. Pengukuran masalah diperlukan untuk mencari solusi yang tepat. Kemudian kita dapat menganalisis evektivitas dan efisiensi proses dari pembengkakan biaya kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebenarnya pembengkakan biaya pembangunan ini tidak hanya terjadi pada proyek kereta cepat di Indonesia. Hal ini juga banyak terjadi di hampir seluruh negara yang sedang melakukan pembangunan proyek kereta cepat akibat pandemi Covid-19. Cost overrun ini sering terjadi pada proyek kereta cepat karena sifatnya kompleks. Hal ini dikarenakan awal penganggarannya terlalu optimis, kemudian tata kelola manajemen proyek yang gagal dan terjadinya penundaan pembebasan lahan. Selain itu, pembangunan proyek kereta cepat ini anggarannya akan bertambah seiring waktu diakibatkan oleh adanya perubahan desain akibat kondisi geografis dan geologisnya yang jauh berbeda dibandingkan dengan proyeksi awal.
Salah satu cara perbaikan permasalahan cost overrun kereta cepat ini yaitu dengan mendapatkan bantuan pemerintah menggunakan APBN. Keputusan ini dikarenakan pertimbangan dalam keberlangsungan dan kelanjutan proyek serta ancaman tidak berjalannya pengerjaan proyek yang akan semakin merugikan berbagai pihak terutama investor. Dalam pasal 4 ayat 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 Anggaran Negara atau APBN disebut sebagai pendanaan alternatif yang bisa digunakan dalam proyek kereta cepat. Dalam pasal 4 ayat 3 dijelaskan lebih lanjut tentang pembiayaan dari APBN dilakukan dengan cara penyertaan modal negara atau dengan penjaminan kewajiban kepada pimpinan konsorsium BUMN, yaitu KAI. Kemudian bantuan pendanaan alternatif lainnya yaitu dapat melalui penerbitan obligasi oleh konsorsium badan usaha milik negara (BUMN) atau perusahaan patungan. Dampak pembangunan proyek kereta cepat ini dari sisi ekonomi memang tidak dapat dirasakan dalam 5 tahun pertama masa operasional, melainkan dampak jangka panjangnya yaitu 10 hingga 30 tahun ke depan atau lebih. Dampak proyek ini pasti sangat panjang dan dengan adanya kereta cepat ini nantinya konektivitas regional akan terbangun.
Terakhir, untuk mengevaluasi strategi perbaikan di masa depan dalam pembangunan kereta cepat ini dapat melakukan control antara lain dalam data terkait pembiayaan pembangunan jalur kereta per kilometer, waktu dalam setiap tahap pembangunan yang melebihi jadwal dibandingkan dengan pembangunan kereta di berbagai negara, dan biaya apa saja yang melebihi anggaran awal. Jika data tersebut terkontrol dengan baik maka semakin baik pula pembangunan proyek tersebut. Data-data tersebut awalnya dianalisis untuk menjadi acuan dasar pembiayaan. Selanjutnya perencana harus memiliki tambahan analisis informasi yang spesifik di setiap proyek untuk menghindari bias yang optimis. Hal tersebut sangat penting agar pihak pengambil keputusan mendapatkan gambaran yang realistis terhadap proyek tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H