Lihat ke Halaman Asli

Kosong

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini (03/11/12) aku masuk ke kelas dengan suasana hati tidak seperti biasa. Adrenalinku sangat lemah. Aku menatap ruangan seperti hampa, kosong, padahal di kelas sudah disesaki teman-teman yang masing-masing sudah berada di kursinya dan sepertinya sudah sangat siap menerima materi kuliah hari ini.

Waktu menunjukkan pukul 09.05, prof Hakim belum juga datang. Beliau dijadwalkan mengisi kelas kami dengan materi kuliah Metodelogi Penelitian setidaknya pada tepat pukul 09.00. Pikiranku masih mengambang, menerawang entah kemana. Aku sungguh sangat sulit tersenyum hari ini. Aku melihat mas yudi yang sedang duduk di sampingku tetap konsisten dengan sikapnya yang jenaka, mampu menebar canda kepadaku walau aku terlampau sulit untuk menyambutnya dengan sikap serupa. Dia sepertinya ingin mentransformasi  energy positifnya dengan memunculkan cerita-cerita jenaka layaknya serial dalam kartun yang menampilkan tayangan yang mampu mengocok perut penontonnya, agar aku bisa sedikit tertawa. Sedikit saja, mungkin…

Tak lama kemudian, seseorang menyapa kami dari arah mulut pintu kelas. “Selamat pagi, maaf saya terlambat,” Prof Hakim akhirnya tiba juga di kelas ini. Kami sering bertanya-tanya, apakah prof jadi masuk atau tidak, soalnya beliau sering berada di tempat lain untuk aktivitas yang katanya menambah pendapatannya.

Seperti biasa dosen ini menyajikan ceramah kuliahnya dengan selingan guyon yang kental. Kelas ikut terpingkal-pingkal ketika pengajar Metodologi Penelitian ini mengambil contoh-contoh kasus yang membuat kami tak sanggup membendung tawa. Aku yang masih bertahan ngambek, tak kuasa lagi mengencangkan bibir ini agar tak sumringah, sedikit mulai merekahkan senyum ke depan, menatap sang pengajar yang sepertinya tertarik untuk kujadikan idola. Yah, aku sedikit tertawa.

Kelas akhirnya berakhir. Aku merasakan adrenalinku mulai mengembang.  Aku lalu menggapai handphoneku dari balik laci, sebuah pesan singkat menyapa, “La’, koq ngambek seh, senyum dong” demikian message mas hari, sahabat baikku di kelas. Tak lama kemudian, Syam, ketua kelas kami yang memang sangat aktif memerhatikan anggota timnya, juga menangkap apa yang melandaku, “mba’ gi jutek yah”, katanya, “gak, biassa aja” kataku. Wow, ternyata sikapku hari ini sudah terbaca di mata teman-teman, mungkin kali ini aku harus tunduk pada pesan mas hari, kembali tersenyum lagi.

Sebenarnya aku kesal sama seseorang di kelas. Kejadian kemarin membuatku sangat tersinggung. Efeknya, masuk ke kelas pagi ini bawaanku masih dongkol apalagi setiap kali melihatnya. Syukurlah, karena hari ini diisi oleh dosen idolaku yang selalu menggoda dengan lelucon-leluconnya, dan sapaan menggelitik dari kawan-kawan baikku di kelas. Aku mulai menatap kembali kawan-kawanku yang sudah larut dalam diskusi dengan isyarat-isyarat khususku, tidak lagi kosong seperti saat akan mengawali kelas pagi tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline