Menjelang penghujung Februari ini, saya merasa kaget dengan dua pemberitaan yang berkaitan dengan Kekerasan Terhadap Perempuan. Hal ini makin miris, ketika yang menjadi korban adalah orang yang paling dekat dengan pelaku. Pada kasus kekerasan yang pertama hingga berujung pembunuhan, terjadi di Bengkulu dimana suami membunuh korban yang merupakan istrinya yang saat kejadian sedang mengandung anak kedua, dalam usia kandungan delapan bulan. Pelaku nekat menggorok leher korban yang langsung tewas seketika, dan dengan tega merobek perut korban sehingga bayi di dalam kandungan terselamatkan. Selanjutnya, paska kejadian, pelaku menyerahkan diri ke pihak kepolisian setempat untuk diproses secara hukum.
Dalam keterangannya pelaku menyebutkan bahwa tidak ada rencana pembunuhan terhadap istrinya. Namun akibat terlalu marah dengan istrinya yang selama empat bulan belakangan menggunakan gawai/ media sosial dan melindunginya dengan menambahkan fitur kunci (lock) di handphone, membuat pelaku tersulut untuk bertanya lantas tersulut dalam emosi yang tidak terkendali. Dalam kondisi kalap, ia mengambil senjata parang untuk menyakiti istrinya dan tega menghabisi nyawanya tanpa ampun.
Sampai disini, pertanyaan saya menyeruak: Bagaimana seorang suami yang telah hidup bersama istri yang disayangi dan telah dikaruniai anak perempuan dan anak kedua (yang baru dilahirkan) tega menghabisi nyawanya dalam keadaan mengenaskan hanya karena terdorong oleh rasa cemburu, apakah perasaan Cinta dalam kadar berbahaya seperti itu?
Selanjutnya, kasus kedua terjadi di Lampung, dimana tiga orang pelaku yang terdiri dari Bapak, Adik laki-laki, dan Kakak laki-laki korban, dengan tega memperkosa korban hingga 120 kali (berdasarkan pengakuan Kakak laki-laki), 15 kali (pengakuan Adik laki-laki), lebih dari 4 kali (pengakuan Bapak) terhadap anak perempuan di dalam rumahnya yang memiliki riwayat disabilitas. Motif yang ditekankan pelaku lantaran Istri (sekaligus Ibu korban) telah lama meninggal dunia, sehingga dorongan "nafsu bejat" dilampiaskan pelaku terhadap korban yang tidak berdaya. Sementara, pengakuan dari saudara laki-laki korban, tega melakukan pemerkosaan lantaran senang menelusuri dan menonton film porno hingga taraf kecanduan. Hal ini menjadi alasan lain juga yang kemudian diakui oleh Adik laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan binatang (zoophilia) terhadap sapi dan kambing di sekitar rumahnya.
Sampai di kasus kedua ini, saya juga membatin dan berkali-kali mempertanyakan, apakah rasa Cinta terhadap keluarga sudah demikian terdegradasi sehingga para pelaku yang merupakan orang terdekat korban lantas tega melakukan pemerkosaan terhadap orang terdekat/ dalam ikatan sedarah(incest). Saat ini kondisi korban dalam keadaan depresi, kosong, dan linglung, beruntung banyak pihak mengupayakan untuk membantu dan mengidentifikasi kebutuhan guna pemulihan diri dan mental korban.
Bagaimana dengan data Kekerasan terhadap Perempuan?
Berdasarkan Catatan Tahunan dari Komnas Perempuan tahun 2018. Kekerasan di ranah privat/personal memiliki persentase tertinggi yaknikekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus).Hal lain yang mengejutkan pada CATAHU 2018, untuk kekerasan seksual di ranah privat/personal tahun ini, incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah kasus perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%).
Di tahun 2018 juga diketahui, CATAHU juga menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang, diikuti ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras dengan meningkatnya kasus incest di Indonesia.
Femicide dan Incest
Femicide adalah bentuk kekerasan berupa penghilangan nyawa terhadap identitas gendernya, yakni perempuan. Femicide terjadi baik secara terencana, tidak terencana, maupun kesengajaan, hal ini didorong juga oleh pandangan bahwa perempuan merupakan makhluk nomor dua, memiliki posisi lemah baik secara peran maupun fisik, sehingga ada kecenderungan pelaku (yang dominannya laki-laki) untuk bebas melakukan apa saja dengan kuasanya untuk melampiaskan perasaan yang dirasakan, khususnya amarah yang meluap-luap.
Dalam budaya patriarki, secara emosional laki-laki tidak memiliki tempat untuk mengadu atau menumpahkan perasaan secara bebas di ruang publik. Laki-laki dituntut untuk menjadi kuat, maskulin, tidak cengeng, garang, perkasa, dan sebagainya. Hal ini menjadi sangat relateble terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam rumah tangga, laki-laki cenderung melampiaskan emosinya kepada orang-orang terdekat. Tetapi bukan kepada teman sebayanya dimana pandangan tentang maskulinitas masih mendominasi.
Sampai hari ini, dominasi budaya patriarki yang terus dikultuskan melalui pola pengasuhan keluarga yang tidak bersifat setara dan terbuka, sedikit banyaknya mendorong bibit-bibit kekerasan di dalam budaya maskulinitas. Laki-laki tetap disosiasikan sebagai makhluk yang penuh dengan kekuatan, pemimpin, dan "kuasa" terhadap hal yang "dianggap" lemah, yakni anak-anak dan perempuan. Sementara hal ini juga didukung dengan budaya sosial, stakeholder, dan aparat kepolisian yang belum kuat dalam mengenali bentuk kekerasan dalam rumah tangga maupun membentuk mekanisme-kebijakan-hingga sistem perlindungan yang berpihak pada kelompok rentan--dalam konteks ini adalah perempuan.
Sehingga setiap kali para korban kekerasan ataupun para penyintas yang bersuara masih belum dianggap sebagai "suara-suara yang penting untuk didengarkan", dan pelaku masih mendapatkan "pemaafan" sosial dengan menganggap tindakan bejatnya sebagai dorongan nafsu yang bersumber dari setan, mitos-mitos ini tetap dipelihara sehingga masih banyak pandangan yang tetap menuduh perempuan sebagai muasal dari terjadinya tindak kekerasan. Bagi pelaku tindak kekerasan juga seringkali diuntungkan dengan hukuman pidana yang ringan dan tetap mewajarkan tindak kekerasan di dalam masyarakat.