Lihat ke Halaman Asli

Retno Wahyuningtyas

Phenomenologist

Tradisi Pernikahan ala Masyarakat Indonesia, dari Tradisi Rewang Menuju Berbalas Amplop

Diperbarui: 28 Januari 2019   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: MoneySmart.id

Tadi pagi, salah seorang teman jauh menuliskan status di laman Facebooknya, mengeluhkan tentang tradisi memberikan kenang-kenangan/sumbangan/balasan amplop kepada orang yang sedang melangsungkan pesta pernikahan.

Di era Generasi X atau angkatan ibu dan bapak saya, pesta pernikahan merupakan ajang bertemu kembali, berkumpul, berbagi, syukuran maupun suatu perayaan yang tidak hanya dinikmati oleh pihak yang merayakan pesta. Perayaan pesta pernikahan menjadi miliki masyarakat setempat sehingga penting untuk "dilaksanakan" dan dikelola secara bersama-sama.

Saya tinggal di kota Lubuklinggau, yakni suatu kota perlintasan yang berada di ujung Provinsi Sumatra Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu. Si Mbah saya merupakan pendatang yang tergabung dalam program transmigrasi tahun 1970-an, awalnya berasal dari Jawa Timur. Jadilah kami sebagai keluarga besar transmigran yang hidup berdampingan dengan masyarakat lokal.

Sebagai penduduk transmigran, hal yang diwariskan kepada kami tentu nilai-nilai dalam keluarga Jawa, terlebih karena bapak saya juga berasal dari Jawa Tengah. Ketika melaksanakan pernikahan, tradisi yang dilangsungkan juga meneruskan apa yang umumnya dilakukan di Jawa. 

Misalnya ketika akan melangsungkan pernikahan, terdapat proses berkumpul bersama tetangga untuk mendiskusikan pembagian peran, mengolah dan memasak bersama atau dikenal dengan "tradisi rewang", berkirim punjungan atau berkat makanan yang diberikan sebagai tanda syukur kepada tetangga ataupun orang yang hendak diundang. 

Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dibagi secara merata sesuai dengan daya dan upaya yang bisa diberikan untuk bisa berpartisipasi di perayaan tersebut. 

Pada tradisi rewang misalnya, saya masih mengingat betul setiap kali akan rewang atau membantu tetangga untuk membuat kue atau mengolah masakan maka ibu akan mempersiapkan sangkek, baskom (berisi beras, bihun, satu butir kelapa, mie goreng, ataupun gula jawa), dan pisau (yang akan digunakan untuk memotong daging atau bahan masakan). Pernikahan biasanya dilakukan di kediaman orang tua perempuan, dan melibatkan tetangga di sekitar rumah. 

Semua dilakukan secara teratur, guyub, bergembira, semua orang saling bercengkerama, saling bersapa, berinteraksi, bahkan untuk menambah semangat maka kegiatan bersama diiringi musik-musik tertentu (umumnya dangdut), bahkan secara sukarela orang yang melakukan rewang meninggalkan aktivitas harian misalnya bagi laki-laki bekerja di kebun atau pasar, atau perempuan rata-rata bekerja sebagai pedagang atau IRT. Ini bisa dilakukan selama 7 hari sebelum sebagai persiapan acara, hingga 3 hari sesudah perayaan (kegiatan bersih-bersih bersama). 

Setelah kegiatan memasak bersama, makanan akan disisihkan oleh ibu-ibu yang bekerja bersama, ada bungkusan makanan yang dibawa pulang untuk disajikan kepada keluarga. Namun bila tidak ada, tuan rumah biasanya menyiapkan kerupuk atau panganan ringan sebagai oleh-oleh karena yang bersangkutan telah sukarela membantu. 

Kegiatan gotong royong ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang sepuh, tetapi anak muda juga ikut terlibat. Ini juga menjadi ruang pertemuan dan perkenalan bagi calon pengantin untuk dapat berinteraksi kepada keluarga besar dan tetangga, sehingga pesta perayaan tersebut tidak hanya sekadar perjamuan terhadap tamu undangan.

Saya juga ingat betul ketika saya kecil (sebelum tahun 2000 hingga tahun 2000 awal), bagaimana tamu undangan hadir berbondong-bondong untuk menikmati sajian makanan dengan tampilan kostum yang bersahaja dan seadanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline