Lihat ke Halaman Asli

Retno Wahyuningtyas

Phenomenologist

Menerobos Tabu, Anak-anak Melek Pendidikan Seksualitas

Diperbarui: 5 Desember 2018   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kemarin sore, saya terlibat dalam perbincangan dengan seorang teman perempuan baru, sedikit banyaknya kami membahasa bagaimana proses produksi pengetahuan tentang seksualitas di sekolah umum maupun di pesantren.

Percakapan menjadi sahut-menyahut karena mendasar kepada pengalaman mendengarkan narasi dan cerita yang didapatkan selama beberapa tahun belakangan. Baik pengalaman saya ketika berada di Jember ataupun di Bengkulu, sementara Ia memiliki pengalaman di lingkaran anak-anak di Purworejo.

Saya memulai cerita tentang bagaimana anak-anak usia sekolah dasar di Bengkulu, mulai mengenal video porno melalui warnet, diperparah dengan anjuran oleh Abang-Abang penjaga warnet yang secara sukarela memberitahu bagaimana anak-anak dapat dengan mudah membuka akses blokir dan bisa secara leluasa menelusuri video porno.

Agar tidak ketahuan, anak-anak ini menggunakan istilah-istilah tertentu--- yang hanya dapat dipahami oleh "kelompok" mereka sehingga cara ini tidak dapat diketahui oleh pihak lain. Bonus lainnya, dalam paket warnet yang disediakan dalam paket waktu disertai bonus snack tertentu ini, anak-anak akan diputarkan musik-musik "anti-mainstream" yang tidak cocok didengarkan oleh anak-anak usia di bawah umur. Misalnya lagu-lagu karya Young Lex, hehe ibu-ibu dan guru-guru di sekolah belum tentu paham :D

Selanjutnya, kenyataan yang tidak kalah pahit adalah anak-anak---yang rata-rata berjenis kelamin laki-laki--- mengetahui bagaimana membuat minuman oplosan yang terdiri dari campuran obat batuk dan minuman receh harga dua ribu perak yang banyak beredaran di warnet ataupun di sekitar sekolah.

Dalam bentuk tindakan, kepada saya ada sekelompok anak yang katakanlah---sangat aktif dan menjadi ketua genk di kelasnya menceritakan bahwa setelah nonton film porno mereka merasa penasaran untuk melihat sesuatu dibalik pakaian anak-anak perempuan ataupun perempuan dewasa. Bila tidak tersampaikan, mereka hanya sekedar melamun, lalu tertawa geli bersama-sama.

Yang kerap menjadi bulan-bulanan justeru anak perempuan di sekolah, yang kadang menjadi korban colek-colek, bullying, dan bahkan disentuh pada bagian tubuh yang privat. Dua orang anak perempuan berani untuk mengadukan ini dan merasa keberatan terhadap anak laki-laki. Memberitahunya kepada guru BK atau guru kelas, hanya akan menambah perdebatan panjang dan diolok-olok dalam waktu tertentu oleh genk anak laki-laki.

Ujung-ujungnya, pihak guru hanya memberikan ceramah singkat dalam sudut pandang agama mengenai dosa. Tanpa memberikan bekal pendidikan seksualitas dan ketubuhan kepada anak didik di sekolah. Di rumah dan di masyarakat, pendidikan seksualitas hanyalah hal yang purba dan sangat tabu untuk didiskusikan di ruang publik, bila beruntung anak-anak membekali diri dan mendapatkan pengetahuan dari orang dewasa yang memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi-- yang cukup.

Tindakan tersebut tentu dapat dikategorikan sebagai bentuk tindak kekerasan seksual yang terjadi dan dilakukan oleh anak, sementara korbannya juga berusia anak. Keduanya merupakan korban, dari ketidaksiapan subyek ataupun lembaga untuk menyediakan pendidikan seksualitas yang berperspektif anak sehingga harapannya mampu membekali anak untuk tidak hanya mengenali pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas tetapi juga memahami dampak tindakan bagi diri sendiri maupun korbannya.

Dampak kekerasan seksual bermacam-macam, dapat menimbulkan luka fisik, trauma psikis jangka panjang dan sebagainya. Komnas perempuan mencatat bahwa kasus kekerasan banyak terjadi dilakukan oleh orang terdekat, salah satunya adalah anak ataupun keluarga---maupun orang yang dikenal. Hal ini disebabkan karena akses pelampiasan lebih dekat dan dapat menundukkan relasi kuasa karena relasi yang dekat.

Dalam konteks ini, anak laki-laki yang telah mengenal video porno tentu akan "bertindak" kepada anak perempuan di sekitarnya. Secara psikis, ketidakmatangan untuk mengontrol diri dan menyembunyikan---justru dapat membuat anak laki-laki ketagihan untuk terus-menerus menonton video porno.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline