Saat saya berada di sekolah dasar, ingatan membawa saya menelusuri suatu mata pelajaran PPKN dengan buku paket yang berwarna merah putih dengan ilustrasi Pancasila.
Dalam buku itu, ada bab tentang keberagaman dan toleransi yang diuraikan dengan gambar penjelas sederhana dan narasi yang tidak njelimet, namun bagi saya pribadi materi belajarnya membuat saya terus ingat hingga saat ini.
Hobi berjalan-jalan ke beberapa tempat di Indonesia membawa saya bertemu dengan banyak orang-orang di perjalanan, baik itu meliputi perempuan maupun laki-laki, lintas usia, lintas suku, lintas agama, lintas generasi, dan dalam berbagai keberagaman.
Banyak materi yang telah diajarkan saat menempuh pendidikan di sekolah, pada akhirnya belajar dan perjalanan menyadarkan saya bahwa setiap ilmu perlu diimplementasikan ke dalam perbuatan sehingga tidak hanya mengendap di dalam pikiran, ataupun sekedar menjadi perkataan semata.
Saat saya mendapatkan kesempatan untuk belajar bersama masyarakat di Ledokombo Kabupaten Jember Provnsi Jawa Timur. Disana saya semakin belajar banyak hal tentang keberagaman, salah satunya bagaimana menjalani hidup dengan nerimo ing pandum, berserah diri kepada Sang Khalik dengan cara bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup.
Saya menyaksikan bagaimana di suatu dusun yang asri, masyarakat masih sangat solid dan menghargai kemanusiaan. Pernah suatu kali saya berkeliling dan mengunjungi rumah penduduk lokal, saya ingat bahwa hari itu saya disuguhkan air teh hangat dengan total 12 gelas karena mengunjungi 12 kepala keluarga. Sebagai anak semi urban yang biasa jajan di angkringan, saya tentu menghitung teh dalam hitungan berapa rupiah harga teh per gelas.
Namun bagi masyarakat Ledokombo, tidak menyajikan minuman dan makanan bagi tamu yang berkunjung dianggap suatu perbuatan yang ganjil. Tidak peduli bagaimana kondisi keluarga mereka, sajian teh yang melesap di dalam kerongkongan saya rasanya tetap sama. Teh yang disajikan melampaui hanya sekedar minum pelepas dahaga.
Saya juga menyaksikan dengan mata kepala atas realita terdapat banyak sekali pasangan suami dan istri yang melakukan kerja sukarelawan untuk mengentaskan persoalan masyarakat di sekitarnya.
Ada sepasang suami istri yang bergerak dalam mengentaskan pendidikan buta aksara dan buta Al-Quran. Lalu ada pula sepasang suami istri yang bergerak melakukan pemberdayaan terhadap buruh migran setempat yang jumlahnya sangat banyak sekali.
Ada juga sepasang suami istri yang bergerak menjadi mobilisator dalam pengelolaan terpadu desa wisata. Serta ada juga sepasang suami istri yang bergerak dalam mengumpulkan masyarakat untuk membentuk kelompok-kelompok usaha mandiri.
Meskipun bergerak dalam ranah perjuangan masing-masing, namun dalam konteks perkembangan desa, gerakan organik ini muncul membentuk struktur yang solid sehingga memperkuat masyarakat secara bottom up. Sebelum ada dana desa yang kemudian mendukung berbagai program pembangunan di desa, masyarakat biasa mengumpulkan iuran ketika hendak mewujudkan ide bersama.