Menyinggung tentang perempuan dan kesehatan erat kaitannya dengan fantasi generasi-generasi bangsa di masa depan. Fungsi biologis dan genetika yang diwariskan Tuhan, menempatkan perempuan mendapatkan posisi istimewa dalam hal melahirkan generasi dari rahimnya. Memiliki organ-organ tubuh istimewa yang tidak dimiliki oleh laki-laki, turut memperkuat perempuan menjadi satu-satunya makhluk yang seharusnya memiliki kekuasaan atas hak lahir dan batinnya. Zaman dahulu, anak perempuan dari latar belakang keluarga Suku Jawa benar-benar “diwajibkan” untuk melakukan banyak treatment tradisional dalam kaitannya untuk menjaga kesehatan diri baik secara fisik maupun secara batin. Penampilan anak perempuan suku Jawa harus ditata sesuai dengan “nilai” yang sudah diwariskan dari leluhurnya, sedangkan sang ibu harus “menuntun” anaknya untuk berpenampilan dan berperilaku sesuai dengan konstruksi nilai sosial tersebut. Anak perempuan suku Jawa harus menjadi “sempurna” sebelum menjadi ibu. Jika pada masa remajanya anak perempuan Suku Jawa dituntut untuk menjadi cantik baik dari luar dan dalam, pun ketika mereka menjadi perempuan dewasa dan sesudah menikah juga “dituntut” untuk menjadi sempurna dalam hal mengabdi untuk keluarganya. Hal ini terus berlanjut hingga kemudian era globalisasi datang mengacaukan mindset anak bangsa yang mulai meninggalkan budaya lokal.
Satu simpulan yang baik untuk ditiru dari potret kasus ini adalah perempuan dalam suku Jawa benar-benar mempersiapkan “diri” mereka untuk menyiapkan “anugerah” yang akan lahir melalui rahim peradaban yang akan mereka lahirkan. Sebaliknya hal yang terwariskan adalah budaya patriarki yang dikemas dengan doktrin agama lalu dipoles dengan dominasi pihak tertentu dan kemudian disepakati bersama, menjadi kolaborasi yang sukses mewariskan budaya patriarki kepada generasi penerus. Beralih ke masa kini pada abad 21, perkembangan dunia mempengaruhi konstruksi nilai sosial termasuk perubahan budaya, jika dahulu perempuan “primitif” Indonesia lekat dengan perawatan-perawatan tradisional yang erat kaitannya dengan mempersiapkan diri sebagai benteng mempersiapkan kesehatan diri untuk menjaga keberfungsian “rahim”. Perempuan abad 21 lebih “tegas” menghamba pada “kepraktisan” yang ditawarkan zaman post-modern ini. Meski jauh dari esensi “sehat”, upaya persiapan yang dilakukan perempuan abad 21 lebih dominan pada tampilan fisik. Jika dahulu makanan yang dikonsumsi adalah makanan sehat berbahan dasar alami, di abad 21 yang diutamakan adalah kepraktisan yang tidak membuang banyak waktu seperti mengonsumsi fast food dan sejenisnya. Kemampuan untuk mempersiapkan “rahim peradaban” yang sehat tidak dibarengi daya dukung lingkungan dan sosial, untuk tetap melanggengkan budaya hidup sehat seperti dahulu.
Meski begitu satu hal yang tidak berubah adalah budaya patriarki tetap menjadi teror bagi perempuan modern. Beban berat yang dulu ditanggung perempuan atas warisan dari lelhurnya kemudian menjadi sebuah petuah yang harus ditanggung bersama. Tidak jauh beda dengan masa lalu, pelibatan perempuan dalam musyawarah masih minim dilakukan. Ranah kerja perempuan hanya dibatasi di sektor domestik dengan dalih agar bisa fokus merawat anak dan melayani suami, atau yang paling memilukan banyak perempuan yang setelah menikah tidak dizinkan oleh suaminya untuk mendapatkan pekerjaan dengan karier yang lebih tinggi dibandingkan suaminya. Dominasi yang dilakukan oleh laki-laki ini tentu saja harus dibenarkan, bahkan pada banyak kasus di masyarakat, budaya patriarki sudah demikian menjalar “menyatroni” hak perempuan atas hak diri yang seharusnya mereka putuskan sendiri. Banyak hal keputusan yang kemudian harus melibatkan laki-laki sebagai pemberi pertimbangan utama, sedangkan keterlibatan perempuan hanya diberikan porsi minimal.
Dekonstruksi sosial tersebut kemudian menempatkan perempuan sebagai second gender (jenis kelamin nomor dua)sedangkan laki-laki sebagai first gender (jenis kelamin nomor satu). Stereotif semacam ini kemudian melahirkan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk memberikan perintah yang kadang berada di luar batas kemampuan perempuan. Misalnya munculnya pembebanan kerja ganda perempuan akibat dominasi laki-laki. Seperti yang dialami oleh penulis pada saat Kuliah Kerja Lapangan lalu, penulis mendapatkan lokasi desa terisolir yang pemukimannya berada di atas bukir dan pinggiran hutan. Setelah menjalani masa KKN selama 40 hari dan melakukan pengamatan kepada ibu-ibu di desa yang hanya dihuni tidak lebih dari 30 kepala keluarga itu, terdapat kesimpulan bahwa posisi tawar perempuan dalam konstruksi sosial melanggengkan budaya patriarki dalam masyarakat. Penulis pernah mendapati seorang ibu yang setia mengambilkan satu dirijen penuh air yang dipanggul dan sesekali diletakkan di atas kepala, air tersebut diambil dari sumber mata air yang lokasinya berjarak 1 km dari rumahnya, dan ketika hal tersebut ditanyakan kepada sang ibu, beliau menjawab air tersebut digunakan untuk keperluan keluarga dan kebutuhan mandi suaminya. Ironinya hal tersebut dilakukan pada tiap sore ketika suaminya hendak pulang ke rumah. Pekerjaan sebagai buruh bangunan tersebut dianggap sebagai pekerjaan yang tidak ringan di mata sang istri sehingga dia harus melayani suaminya dengan cara menyiapkan kebutuhan air untuk mandi meski sang perempuan juga sejak pagi hingga sore bekerja di kebun milik mereka di dekat hutan untuk memetik bumbu sahang, sebagai pekerjaan tambahan untuk membantu perekonomian keluarga. Pun untuk urusan jatah makan, sang suami harus mendapatkan makanan ekstra dari masakan yang dimasaknya di sela-sela waktu. Kondisi pasar pekan yang hanya ada tiap satu kali dalam seminggu membuat ibu tersebut juga harus mengatur, menyimpan, dan mengolah bahan makanan dengan sangat baik. Ditambah lagi kondisi desa tersebut tidak terjangkau aliran listrik pemerintah, sehingga ketersediaan mesin listrik yang hanyak dipasok untuk kebutuhan penerangan di malam hari harus membuat si ibu dan perempuan lainnya di desa tersebut harus bekerja sangat ekstra dan membagi waktu demi kebutuhan keluarga.
Potret perempuan di pedesaan tersebut menjadi cermin betapa ketidaksetaraan hanya akan membuat ketimpangan dan mengorbankan yang lainnya. Korban utamanya adalah perempuan, akibat beban berganda yang “dibebankan” kepadanya membuat perempuan tidak memperhatikan angka kecukupan gizi bagi dirinya. Pada Oktober 2013 Dinas kesehatan Provinsi Bengkulu memaparkan data bahwa ditemukan sebanyak 199 orang bayi dalam kondisi malnutrisi (kekurangan gizi) dan orang balita mengalami gizi buruk. Hal ini disebabkan salah satunya karena kekurangan gizi akibat minimnya gizi dalam asupan makanan dan pemberian ASI yang minim nutrisi. Hal tersebut tentu menjadi gambaran menyeramkan ketika pada dunia perpolitikan menggembar-gemborkan bahwa masyarakat sudah sejahtera tetapi sangat disayangkan perempuan menjadi makhluk yang lumut dari perhatian dan minim kebijakan yang berpihak kepadanya. Padahal melalui rahim perempuanlah yang menjadi cikal-bakal tempat dimana calon pemimpin bangsa akan lahir dan melalui cinta-kasih serta kesungguhannya dalam merawat anak-anaknya maka akan muncul generasi baru dengan karakter unggul yang nantinya akan menjadi pencipta dan pembaharu Indonesia di masa depan.
Sesungguhnya kesetaraan yang ingin dicapai antara laki-laki dan perempuan bukan keseteraan ekstrim yang malah kemudian memicu konflik akibat penyimpangan nilai yang salah diadopsi. Kesetaraan yang dimaksudkan adalah keseteraan yang melahirkan hubungan yang harmoni dimana tidak ada yang merasa dikorbankan ataupun mengorbankan sesuatu, pun hubungan tersebut nantinya diharapkan dapat melahirkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan sesuai hak dan tanggung jawab yang dijalankan sesuai peran masing-masing, sampai tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hal ini menjadi sulit karena banyak orang yang memandang skeptis harapan ini, umumnya akibat budaya patriarki yang terwariskan menyebabkan laki-laki memandang pesimis untuk menyamakan “kedudukan” hingga menjadi setara seperti sikap untuk mengasuh anak dan mengurusi perkara di wilayah domestik. Kemudian banyak ditemukan kasus perceraian dalam keluarga salah satunya akibat salah persepsi soal “kesetaraan” yang dikemas dalam bentuk perlawanan ekstrim yang berujung pada cek-cok lalu berakhir perceraian.
Pandangan kaku ini seharusnya bisa disingkirkan dengan cara melakukan mediasi dan menjadikan komunikasi sebagai cara efektif untuk menyamakan persepsi atas kesetaraan yang hendak dicapai. “Lain ladang lain belalang,lain lubuk lain pula ikannya”, adigium ini dapat menjadi acuan bagi mereka yang menginginkan “kesetaraan” namun tetap ingin mencapai tujuan bersama, yakni hidup yang harmoni dan damai. Mengupayakan cara-cara yang disesuaikan dengan suhu persepsi internal didalam keluarga ataupun kelompoknya. Hal ini menjadi jitu sebab mengedepankan asas musyarawah dan melibatkan jalan tengah, untuk hasil akhir tentang sepakat memberlakukan kesetaraan itu ataupun tidak, yang terpenting adalah prosesnya melibatkan suara perempuan sebagai kaum yang dihormati hak suaranya. Kepada pemerintah, jikapun program ini dianggap kebijakan yang baik dan mendukung misi dunia dalam tujuan mengangkat derajat dan melindungi perempuan seperti yang termaktub dalam Millenium Development Goals (MDGs), hal ini harus dibarengi dengan sistem dan implementasi kebijakan yang dilakukan sesuai tujuan awal. Jangan sampai hanya karena pemimpin di segala lini di dunia ini didominasi oleh laki-laki kemudian malah berbalik “memusuhi” perempuan karena dalam hati tidak sepakat dengan konsep kesetaraan, lalu tidak melakukan apa-apa untuk kebijakan yang seharusnya menguntungkan dan melibatkan “hak” perempuan. Terlepas dari praduga itu, semoga semua laki-laki di dunia semakin melek “gender” dan mulai paham bahwa nyatanya perempuan adalah rahim peradaban bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H