Gotong-royong adalah suatu faham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, suatu perjuangan bantu-membantu (Kartodirjo, 1987). Gotong-royong merupakan amal dari semua untuk kepentingan semua atau jerih payah dari semua untuk bersama.
Dengan berkembangnya tata - tata kehidupan dan penghidupan menurut zaman, gotong-royong yang pada dasarnya adalah suatu azas tata-kehidupan dan penghidupan asli Indonesia dalam lingkungan masyarakat yang serba sederhana menjadi inspirasi Pancasila. Prinsip gotong royong melekat subtansi nilai-nilai ketuhanan, musyawarah dan mufakat, kekeluargaan, keadilan dan toleransi(peri kemanusiaan) yang merupakan basis pandangan hidup atau sebagai landasan filsafat Bangsa Indonesia.
Mencermati prinsip yang terkandung dalam gotong- royong jelas melekat aspek-aspek yang terkandung dalam modal sosial. Modal sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial suatu negara. Negara-negara yang dikategorikan sebagai masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi (high trust societies) menurut Fukuyama yang termuat di dalam buku The Social Virtues and the Creation of Prosperity, cenderung memiliki tingkat keberhasilan ekonomi yang mengagumkan. Sebaliknya, masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low trust societies) cenderung memiliki kemajuan dan perilaku ekonomi yang lebih lamban dan inferior (Fukuyama, 1995).
Jika di kontekstualisasikan dengan perkembangan masyarakat kontemporer di Indonesia saat ini, maka bisa dikatakan perkembangan modal sosial masyarakat Indonesia sedang mengalami proses hibridasi sosio-kultural (Faedlulloh, 2015).
Kekacauan terjadi di dalam proses hibridasi sosio-kultural ini mirip dengan konsep anomie yang digunakan oleh Durkheim yang termuat di dalam buku Dictionary of Sosiology (marshall, 2009 : 80) untuk menggambarkan kondisi relasi masyarakat atau individu dimana konsensus melemah, nilai-nilai dan tujuan(goal) bersama meluntur, kehilangan pegangan nilai-nilai norma dan kerangka moral, baik secara kolektif maupun individu.
Dalam beberapa dekade belakangan ini perlahan tetapi pasti sebagian besar tatanan kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan politik dirasuki gaya hidup konsumerisme(komsumsi yang mengada-ada) dan kebebasan hampir tanpa kendali (Radiansyah, 2019). Fenomena itu juga ditandai dengan meningkatnya hasrat menghamba pada kekuasaan dan materi.
Gotong royong tampaknya hanya berfungsi sebagai simbol belaka, sering didiskusikan tetapi kurang dipraktekkan dalam relasi sosial kehidupan masyarakat. Untuk menyesuaikan dengan perubahan sesuai arahan nilai-nilai baru maka diperlukan konstitusi dan norma-norma baru. Banyak perubahan yang dilakukan dengan penuh kesadaran tetapi cukup banyak perubahan yang dilakukan diluar kesadaran (Umanailo, 2018).
Karena ada desakan kepentingan politik ekonomi dari pihak-pihak tertentu(agen-agen) lewat berbagai macam institusi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sistem politik telah berubah ke arah sistem demokrasi liberal (Suleman, 2010). Setiap jenjang aparat eksekutif pemerintah, bupati, gubenur dan presiden serta anggota legistatif dipilih dengan sistem demokrasi liberal(one head one vote). Memang dengan sistem itu kedaulatan rakyat dapat dipenuhi dan dijalankan dengan baik karena dipandang sesuai tuntutan hak asasi manusia (Harefa, 2020). Namun, karena masyarakat belum siap untuk menjalankan sistem itu maka dalam pelaksanaan banyak terjadi anomali yang cukup menganggu relasi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Adaptasi terhadap perubahan sistem politik itu telah menimbulkan berbagai macam implikasi bagi relasi sosial masyarakat, baik di aras nasional maupun lokal (Nugraha, 2020). Proses politik kenegaraan di tingkat nasional dan lokal diwarnai dengan hasut-hasut menghasut, politik uang, saling menjatuhkan, fitnah melalui selebaran gelap.
Eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh karena demi “demokrasi”, legislatif senantiasa melakukan kontrol terhadap hal-hal yang sebenarnya bukan jadi wewenangnya. Elit politik di legislatif dengan dalih menjalankan prinsip demokrasi di berbagai kesempatan menunjukkan kekuasaannya tanpa mengindahkan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa. Suara rakyat sebagai konstituen yang memilih mereka kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan (Prasisko, 2019).
Hasrat memenuhi tuntutan materi(uang) telah mengesampingkan nilai-nilai moral (etika) yang terkandung dalam gotong royong(Harefa, 2020). Tanpa disadari pembusukan moral(korupsi, teror, intimidasi, prasangka dsb) merebak dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial maupun politik. Nilai-nilai sosial dan moral dalam kehidupan sosial-politik telah melonggar kalau tidak boleh dikatakan hancur berantakan karena dorongan hasrat mengejar rente ekonomi(keuntungan ekonomi) sesaat (Supriyadi, 2020). Keadaan inilah yang menimbulkan kekecauan sosial karena perubahan seakan tanpa arah.