Lihat ke Halaman Asli

In My Eyes - Chapter 1

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338527326794176796

Cerita ini belum diedit, please ignore all the mistakes :) CHAPTER 1 “Reyyyyyyyyyyyy………” lengkingan mama terdengar di seluruh penjuru rumah. “Ih…mama jangan kenceng-kenceng teriaknya. Pusing tahu dengernya,” sewotku sembari menutup telinga. Mama menatapku garang dari balik sofa, “makanya tadi mama suruh kamu yang bangunin kakakmu tapi kamu ga mau. Terima nasib aja deh. Reynooooooold….bangunnnnn!!!!” Aku memutar bola mataku, beringsut malas dan beranjak dari sofa. Lebih baik aku bersiap-siap menemui Lana. Hari ini adalah hari istimewa. Well, bukan bagiku sih, tapi bagi Lana. Nanti malam ia diajak dinner oleh pacarnya, Bayu. Lana curiga kalau Bayu mungkin akan ‘menembaknya’ malam ini. Dia sudah mengendus bau-bau kegugupan Bayu sejak Bayu mengajaknya kencan 2 hari yang lalu. Aku ikut senang kalau itu benar. Sejak tadi malam Lana sudah merengek-rengek padaku untuk menemaninya belanja pagi ini dan dengan terpaksa aku mengiyakan. Hari ini pasti akan menjadi hari belanja terlama dalam sejarah hidup Lana. Dan dalam hidupku juga. Dari balik pintu kamar mandi aku masih bisa mendengar teriakan mama diikuti suara menggerutu kak Rey dari lantai dua. Meskipun aku sudah berusaha membuyarkan semua suara bising itu dan memutar keran hingga bunyi air dari showerku terdengar seperti hujan lebat, tetap saja suara perdebatan mereka  merusak momen mandiku. Aku tidak terlalu perduli dengan pakaian apa yang kupakai. Aku terbiasa membiarkan tanganku menjadi tuan dalam memilih pakaian. Apa yang tersentuh olehnya pertama kali, itu yang akan diambilnya. Begitupun hari ini, aku sudah tahu apa yang kupakai ketika membuka lemariku. Rok jeans mini yang kubeli dua hari yang lalu ada di tumpukan yang pertama beserta kaus bergambar bunga di tumpukan sebelahnya. Dengan cepat aku mengambil dan memakainya melewati kepala dan kakiku. Aku mengamati bayanganku di cermin. Aku punya selera fashion yang rendah, tapi aku tidak terlalu buruk. Mataku berwarna coklat gelap tapi sedikit lebih terang dari orang Indonesia kebanyakan. Warna coklat ini kudapat dari nenekku yang keturunan Portugis. Tidak ada ciri-ciri lain dalam diriku yang menunjukkan darah campuranku selain warna mata. Tapi ini sudah cukup, aku malas meladeni orang-orang yang punya hobi mendekati bule atau orang yang kelihatannya berdarah campuran. Kubiarkan rambutku tergerai melewati bahuku. Sambil memakai lipgloss aku memandangi jam dinding kamarku, sudah waktunya pergi. Kusambar tas tanganku dari atas lemari dan setengah berlari ke luar kamar. *** Dari jarak 10 meter aku sudah bisa melihat Lana yang sedang mencium kaca etalase sebuah toko. Oke, bukan mencium, tapi aku berani sumpah 1 cm lagi mulutnya yang sedang menganga itu benar-benar tertempel di kaca. Aku terkekeh kecil, apa sih yang ada di pikiran cewe itu? Dia kan tidak perlu melihat sebuah sepatu dari balik kaca sampai sedekat itu, apalagi dengan mulut menganga seperti orang tolol. “Sale?” tanyaku sambil menepuk bahunya dengan keras. “Oh.....,” pekiknya menahan sakit sambil mengelus bahunya dan menatapku garang. “Cara yang bagus buat terlambat datang!” dengusnya pelan. Aku terkikik kecil dan mengalihkan padanganku pada sepatu yang sedari tadi diamati Lana. “Hmm, harganya lumayan mahal,” aku mengerutkan keningku, mengamati detail sepatu itu. “Love is sacrifice, Daniella. Gue udah bisa bayangin sepatu ini berjalan menuju Bayu. Awww....romantisnya.....,” Lana mendekapkan kedua tangannya di pipi dan menerawang jauh sambil tersenyum sendiri. “Momen romantis dari sepasang sepatu. Kisah cinta yang aneh, pas banget buat lo” aku mengangguk-angguk perlahan menahan senyum. “Ya, dan gue juga udah bisa ngebayangin nendang bokong lo pake sepatu ini kalo lo berani bilang gue aneh lagi!” ketusnya. Kami saling melemparkan tatapan garang dan sedetik kemudian tawa kamipun meledak. Lana adalah temanku sejak kecil. Sifat kami yang agak berbeda justru menyatukan kami. Lana orang yang sangat ceria dengan pikiran-pikiran anehnya. Dan aku adalah satu-satunya orang yang bisa menerima keanehannya itu. Kami mondar mandir dari satu butik, dua butik, tiga butik, arrghh...sudah tidak terhitung lagi berapa banyak butik yang kami masuki berulang kali. Kakiku sudah mati rasa dan tanganku kram karena membantu Lana membawakan belanjaannya. Sementara Lana? Seakan tidak ada lagi yang paling penting di dunia ini selain bisa menemukan pakaian yang pantas untuk hari besarnya ini. Oke, ini sudah 3 jam dan aku sudah cukup bersabar. Aku mulai memikirkan alasan bagus apa yang bisa membuatku tereliminasi dari reality show pencarian pakaian ini. “Ehm...Lana, aku..” “Alasan ditolak!” Lana memotongku cepat. Sial, umpatku dalam hati. Ia pasti sudah membaca gerak-gerikku dari tadi. Aku harus menemukan cara lain. Tiba-tiba lampu ide di atas kepalaku menyala dan seketika itu juga seringaiku muncul. “Lo udah ngerjain tugas sejarah?” tanyaku berpura-pura polos. “Oh!” pekiknya kaget dan mulai terlihat cemas, “gue lupa sama sekali.” “Bu Theresia. Killer,” kataku singkat seakan mengingatkannya. Akhirnya selesai, akhirnya bisa pulang, akhirnya... “Well, gue nyontek aja dari lo besok pagi ya,” Seringaiku langsung berubah menjadi kekecewaan. Aku sudah mulai kehabisan ide ketika handphone-ku berdering. Kulihat sekilas nama di layarnya. Kak Rey. “Halo....iya....iya aku tahu,” aku menutup handphone-ku sedetik kemudian dan melemparkannya kedalam tasku. Aku berbalik menghadap Lana, “Sori, gue mesti balik. Bokap gue pulang.” Lana cuma menatapku dengan tatapan prihatin, lalu mengangguk pelan. Aku langsung berbalik pergi menuju ke arah luar mall. Detak jantungku terdengar semakin cepat. Satu hal aku senang bisa pulang, namun aku tahu kesenanganku tidak bertahan lama. Alasannya cuma satu; papa pulang dari Jogja. Well, itu hal yang buruk, setidaknya bagi keluarga kami. ......................................................................................................................................... Hey ya, Thanks yang udah nyempetin waktu buat ngebaca ceritaku. Aku bersedia menerima saran, kritik dan cabe rawit dari kalian. Cerita ini hanya saya upload di kompasiana dan wattpad, jadi kalau melihat ada cerita lain di luar sana yang sama persis  (plagiat), please inform ke saya. Thanks. If you enjoy it, please comment and vote. No pressure though...cheers! ;p




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline