Januari 2014 merupakan awal tahun yang memberikan pembaharuan bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengambil langkah yang cukup berani untuk mulai melaksanakan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebagian warga Indonesia memang sudah tidak asing dengan sistem asuransi kesehatan yang telah dikembangkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan sebelum JKN lahir, telah ada beberapa jaminan kesehatan yang berjalan di Indonesia, seperti ASKES, Jamsostek, ASABRI, Jamkesmas, KJS. Sebenarnya konsep yang ditawarkan oleh JKN dengan jaminan kesehatan yang sebelumnya kurang lebih sama. Perbedaan yang cukup terlihat adalah dari sisi cakupan kepesertaan. Dalam sistem JKN kepesertaan bersifat wajib untuk seluruh penduduk Indonesia, seperti yang tertuang dalam Perpres 111 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan.
Dilihat dari rancangan awal pembentukkannya, JKN merupakan suatu program yang amat mulia dan sangat berguna bagi penduduk Indonesia. Namun tentunya dalam menjalani sebuah program tidaklah semudah membalikkan telapak tangan apalagi JKN merupakan sebuah program yang cakupan sasarannya cukup besar, yaitu seluruh penduduk Indonesia. Oleh karenanya hingga tulisan ini dibuat, program JKN yang masih berumur kurang lebih 10 bulan masih banyak terlihat kekurangan dan keterbatasan dalam berbagai hal. Namun tentunya kita semua pasti mengharapkan yang terbaik untuk kelangsungan penyelenggaraan JKN kedepannya.
Seperti yang tertuang dalam Permenkes No. 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan, JKN memberikan manfaat jaminan komprehensif bagi peserta yang terdiri atas 2 jenis manfaat, yaitu manfaat medis dan non medis. Manfaat medis yang diberikan berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative) sesuai dengan indikasi medis dan tidak terkait dengan besaran iuran yang dibayarkan. Manfaat non medis berupa akomodasi dan ambulan. Untuk manfaat pelayanan promotif dan preventif yang diberikan, meliputi penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana, pelayanan skrining kesehatan tertentu, pemeriksaan penunjang pelayanan skrining kesehatan.
Penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai manfaat yang diberikan JKN berupa manfaat medis, khususnya untuk manfaat promotif dan preventif. Seharusnya pemberi pelayanan kesehatan (PPK) tingkat I, Puskemas, klinik pratama, atau yang setara, tidak lalai untuk memberikan layanan yang bersifat promotif dan preventif kepada peserta JKN. Namun melihat kenyataan yang ada saat ini, apakah Puskesmas sebagai PPK I sudah memberikan dan mengoptimalkan hal tersebut, padahal hal tersebut sudah tertuang dalam paket manfaat yang diberikan dalam JKN? Dalam era JKN ini malah Puskesmas lebih concern terhadap pelayanan kuratif sehingga yang terjadi adalah kejadian pembludakan pasien marak terjadi di Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan pengobatan (kuratif). Hal ini seperti menunjukkan bahwa JKN hanya berfokus pada pelayanan kuratif saja dan mengabaikan upaya promotif dan preventif. Padahal notabene-nya Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang seharusnya berfokus pada upaya kesehatan masyarakat bukan pada upaya kesehatan perseorangan.
Fokus pelayanan pada cakupan upaya kesehatan perorangan menjadikan masyarakat terkena sindrom “sedikit-sedikit berobat”. Hal ini terlihat cukup banyak kasus yang terjadi di lapangan, pasien datang dengan keluhan panas baru sehari sudah langsung mendatangi pelayanan kesehatan untuk berobat. Kasus lain, adapula pasien datang ke PPK I hanya untuk meminta surat rujukan untuk dapat berobat ke PPK II (pasien menjadi “spesialis minded”). Kasus lain yang terjadi di PPK I adalah terkait tenaga medis seperti “supir angkot kejar setoran” dalam memberikan pelayanan terhadap peserta JKN. Tenaga medis hanya memeriksa peserta dalam waktu hitungan menit, menanyakan sakit apa kemudian meresepkan obat dan pelayanan pun selesai. Dimanakah upaya promotif, preventif perseorangan yang harusnya juga disediakan oleh PPK I? Padahal upaya promotif dan preventif perorangan menjadi salah satu manfaat yang dijamin dalam JKN. Jika ditilik lebih lanjut, sebenarnya dampak dari pengoptimalan upaya preventif dan promotif cukuplah berarti dalam menurunkan angka kunjungan peserta yang akan menggunakan jasa pelayanan kuratif, hal ini dikarenakan setelah peserta mendapat paparan mengenai upaya preventif untuk kesehatan dirinya maka ia akan lebih concern untuk menjaga kesehatannya dan tujuan untuk menyehatkan bangsa pun dapat tercapai. Walaupun tentunya hal ini tidak dapat terjadi begitu saja, butuh effort yang cukup besar untuk menjalankan itu semua.
Dalam peraturan-peraturan terkait JKN pun belum ada yang membahas secara khusus mengenai besaran anggaran yang digunakan untuk pelayanan promotif dan preventif. Permenkes No. 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana kapitasi jaminan kesehatan nasional, hanya menjelaskan mengenai penggunaan dana kapitasi ditujukan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Besaran yang ditentukan adalah untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan sebesar 60% dari dana kapitasi dan untuk dukungan biaya operasional merupakan selisih dari besar dana kapitasi dikurangi dengan besar alokasi pembayaran jasa pelayanan, yang artinya sekitar 40% dari dana kapitasi. Pembiayaan upaya promotif dan preventif masuk ke dalam dukungan biaya operasional bersamaan dengan pembiayaan obat, alkes, BHP, dan kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya. Apakah ini dirasa cukup dan bisa optimal untuk pelaksanaan upaya promotif dan preventif? Sepertinya jawabannya adalah belum, karena hingga saat ini promotif dan preventif masih dianaktirikan oleh BPJS padahal hal ini sudah jelas diamanahkan dalam UU No. 24 tahun 2012 dan Permenkes No. 28 tahun 2014.
Hendaknya pihak BPJS menilik lebih lanjut mengenai manfaat promotif dan preventif, apakah dalam praktek di lapangannya hal ini dilaksanakan atau hanya sekedar manfaat yang tercantum dalam peraturan yang mengatur mengenai JKN, apabila sudah dilaksanakan apakah sudah optimal pencapaiannya atau belum. Hal ini dikarenakan pembiayaan untuk pengobatan (kuratif) itu tidak akan ada habisnya sepanjang waktu dan akan terus menerus meningkat jika tidak dibarengi dengan upaya promotif dan preventif, baik lingkup perseorangan ataupun masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H